harga genset honda

KRITIK EPISTEMOLOGI USHUL FIQH


Tak disangka, ilmu yang telah berjasa besar menelurkan ide-ide dasar keagamaan ini yang diformulasikan dalam fikih dianggap mulai keropos karena tata kerjanya terlalu teisme sentris. Kehadiran ushul fiqh setelah maraknya diskursus teologi dalam islam dan dimensi transendental panutannya menjadikannya sasaran kritik tajam para intelektual masa kini. Sejatinya, ushul fiqh adalah bagian ilmu yang seharusnya tetap menjalani kehidupan alamiahnya, konsisten dan terus berkembang. Ushul fiqh dinilai hanya mempertahankan dimensi konsistensinya namun tidak berkembang. Praktis ushul fiqh mengalami sakralisasi para penganutnya yang harus diterima apa adanya tanpa ada keberanian untuk bereksperimen.


Tidak hanya itu saja, ushul fiqh dinilai hanya mempertahankan dimensi transendental belaka namun tidak pernah melirik ke arah realitas dialektikanya. Argumentasi klasik mengatakan, “wahyu tuhan bersifat qadim mendahului berbagai realitas sehingga wahyulah pionir perubahan”. Dengan demikian, benarlah klaim Nashr Hamid Abu Zaid bahwa peradaban islam dibangun di atas pondasi teks. kenyataan ini pula mengantarkan analisa seorang Adonis terhadap kebudayaan arab –pemikiran islam umumnya- sebagai akibat dominasi teks. Inilah yang ia sebut sebagai “yang mapan” dan dianggap sebagai satu-satunya epistemologi dan otoritas kebenaran tertinggi..


Akan lebih menarik jika diketengahkan, kritik epistemologi ushul fiqh juga dilancarkan oleh kalangan ekslusif semisal pemimpin spiritual Hizbut tahrir, Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab asy saykhshiyyah al islamiyyah, yang menyerang secara tajam keterlibatan teologi pada batang tubuh ushul fiqh. Menurutnya, keterlibatan ini menyebabkan mandulnya ushul fiqh sebagai basis epistemologi hukum syariat dalam merespon perkembangan zaman. Teologi dianggapnya hanya bersifat retorika yang tidak langsung bersimplikasi kepada realitas. Dunia retorika ini mengalihkan perhatian ushul fiqh dari produktifitasnya sebagai “pabrik” hukum. Di satu sisi, paradigma yang terbangun dalam kritik Taqiyuddin an Nabhani ini tidak lepas dari sikap anti filsafat secara keseluruhan. Ini dibuktikan, dengan pandangannya bahwa isu-isu teologis seharusnya diselesaikan dengan pembacaan tekstual keagamaan dan inilah yang paling tepat karena dengannya lah tuhan menggambarkan diri-Nya. Meskipun demikian, pembebasan yang ingin digapai oleh an Nabhani tetaplah kritik epistemologi ushul fiqh klasik yang patut diberi ruang untuk menerjemahkan dirinya sendiri pada skala tertentu.



Hampir mirip, Hassan Hanafi dari kalangan “kiri islam” juga melontarkan kritik pada ruang teologis dalam tubuh ushul fiqh yang justru menyatakan kemapanan “Dia” dalam dunia manusia padahal pembuktian kebenaran-Nya ada pada realitas kemanusiaan. Argumentasinya dibangun dari arah gerak antara teologi dan ushul fiqh yang tak sejalan. Arah gerak teologi adalah vertikal untuk menghubungkan manusia dengan pencipta-Nya. Sedangkan ushul fiqh bergerak dari atas ke bawah, dari alam transenden ke alam empirik. Dengan demikiran, keliru jika memaksakan teologi menjadi bagian ushul fiqh sebab arah gerak keduanya berlawanan. Masuknya teologi, hanya akan memantapkan eksistensi meta-insani di atas pengalaman insani sehingga pembacaan agama hanya berkisar pada bagaimana menurut-“Nya” dan melupakan bagaimana menurut “kita”. Sehingga penting kiranya merubah teologi fatalis ini dengan teologi pembebasan yang berorientasi pada perubahan sosial.



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/18/kritik-epistemologi-ushul-fiqh-608864.html

KRITIK EPISTEMOLOGI USHUL FIQH | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar