harga genset honda

Menggonggonglah, Watch Dog!


Dewasa ini, media massa semakin mempunyai peran sangat penting dalam kehidupan terutama kehidupan berpolitik. Bisa kita perhatikan bahwa media-media informasi, utamanya media televisi, menjadi sarana suatu partai politik untuk mempromosikan dirinya. Kerap kali juga, media digunakan sebagai “penghancur” citra partai politik yang lainnya.


Dapat kita saksikan sendiri dengan jelas, saat ini media hanya menjadi alat dari partai politik, apalagi pesta demoktrasi rakyat tahun 2014 tinggal menghitung hari. Hal tersebut dijadikan strategi guna membangun opini publik hingga kemudian pada akhirnya semua itu bak “membeli” suara khalayaknya.


Tak perlu disebutkan partai apa saja yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Media mana saja yang jelas terlihat bahwasanya dijadikan alat oleh partai politik. Publik yang sadar pasti tahu mana media yang masih menjaga independensinya dan mana yang sudah terkotori oleh ‘noda’ dari kegiatan rahasia partai politik.


Beberapa media saat ini lebih memilih memalsukan realitas, menopengi realitas, bahkan sama sekali tidak ada relasi dengan realitas. Dalam kondisi seperti ini, media saat ini telah menjadi ’cermin kepentingan’.


Ada begitu banyak kepentingan di balik media, dua kepentingan utamanya yaitu kepentingan ekonomi (economic interest) dan kepentingan kekuasaan (power interest), yang mengendalikan isi media, informasi yang disajikan dan makna yang ditawarkan. Keduanya tercermin dalam sistem operasi media massa dan kontruksi realitas politik.


Curhatan SBY


Beberapa hari yang lalu, SBY jadi bahan pembicaraan karena menyindir media massa yang kerap menyindir partai politiknya. Itu bukan yang pertama. Pada peringatan Hari Pers Nasional lalu, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, menyindir praktik pers dan media massa sekarang ini. SBY mengatakan bahwa pers milik rakyat bukan milik kepentingan atau kelompok tertentu. Dia juga meminta agar pers benar-benar memberi pencerahan kepada rakyat.


“Ingat, sesungguhnya TV, radio, koran, majalah, media online bahkan sosial media itu milik publik. Maka sesuai dengan semboyan pers Indonesia, dari rakyat dan untuk rakyat. Bukan hanya milik parpol dan calon legislatif atau calon presiden semata,” ucap SBY dalam peringatan Hari Pers di Manado, Senin (11/2/2013).


SBY juga mengajak agar pers menampilkan sesuatu yang seimbang. Ada yang baik dan buruk, ada yang plus dan ada yang minus. Dia berharap media memberikan ruang bagi semua kalangan, apalagi dalam menyambut pemilu 2014.


“Berikan ruang yang cukup dan relatif adil. Kalau adil barangkali sulit, saya harus realistis, jadi kepada pemilik dan manajemen semua media berikan ruang cukup dan relatif adil bagi peserta pemilu baik legislatif dan pemilihan presiden,” jelasnya.


Jika diperhatikan dengan seksama, apa seburuk itukah pers Indonesia di zaman sekarang? Sampai seorang Presiden ikut menyentil, menyindir, memperingatkan atau apalah yang berkaitan dengan dunia pers yang mulai tercium bau ‘politiknya’ di dalamnya. Perkataan tersebut keluar, entah datang dari dirinya sebagai Presiden RI yang memang harus peduli terhadap rakyatnya, entah pula datang dari dirinya sebagai petinggi salah satu patai politik yang kerap kali disudutkan oleh media-media yang notabene milik partai oposisinya di 2014 nanti. Entahlah.


Media dan Politik


Rata-rata kita menghabiskan lebih dari sepertiga dalam kehidupan kita untuk menonton televisi, membaca surat kabar, mendengarkan radio dan berselancar di internet. Artinya kita menghabiskan waktu untuk membenamkan diri dalam media. Sadar atau tak sadar, kemampuan kita berbicara, berpikir, berhubungan dengan orang lain, bahkan indentitas dibentuk oleh media. Hasil dari media manakah kita?


Ibnu Hamad dalam bukunya yang berjudul ‘Kontruksi Realitas Politik dalam Media Massa’ menjelaskan bahwa peristiwa politik selalu menarik perhatian media massa sebagai bahan liputan. Hal tersebut disebabkan karena adanya dua faktor yang saling berkaitan.


“Hal yang menyebabkan politik selalu jadi bahan liputan tejadi karena dua faktor. Pertama, politik berada di era mediasi (politics in the age of mediation), yakni media massa, sehingga hampir mustahil kehidupan politik dipisahkan dari media massa. Kedua, peristiwa politik dalam bentuk tingkah laku dan pernyataan dari para aktor politik lazimnya mempunyai nilai berita,” tulis Ibnu Hamad dalam bukunya.


Namun yang terjadi di Indonesia saat ini mulai di atas kewajaran. Saat ini sejumlah pemilik media sudah mulai mengancam kebebasan pers itu sendiri. Dia menunjuk praktek yang lazim terjadi di sejumlah media, yakni pemilik modal bisa mencampuri kebijakan editorial di ruang redaksi, sebagai bukti nyata ancaman itu.


Terancamnya kebebasan dan independensi pers ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya faktor utamanya adalah regulasi. Ini berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Buah hasil dari reformasi 1998 tersebut hanya mengatur soal kebebasan saja, tapi mengenai perlindungan jurnalis dan independensinya tak banyak dibicarakan dalam regulasi tersebut.


Berbicara tentang independensi para jurnalis, hal tersebut tak hanya terjadi di Indonesia. Di Rusia, media yang pemiliknya ikut mencampuri kebijakan editorial ruang redaksi juga terjadi. Irina Lukyanova, mantan wartawati yang kerap kali jadi presenter acara politik di salah satu stasiun televisi nasional Rusia, mengatakan bahwa di negara tempat ia tinggal, independensi tak bisa dijalankan dengan baik. Wartawan ditekan oleh politisi untuk tim kampanye. Dalam beberapa minggu, jurnalis dapat memperoleh uang lebih banyak karena itu.


Mereka hanya mejadi ‘microphone holder’ bukan jadi jurnalis. Seorang jurnalis harusnya punya jiwa skeptis terhadap orang yang akan diwawancara. Namun apa daya, orang-orang dibalik media tersebutlah yang mengatur sedemikian rupa agar produknya sesuai dengan apa yang mereka inginkan.


Hingga pada akhirnya jurnalisme di Rusia yang dipandang bebas, namun pada kenyataannya tidak. Hal ini disebabkan oleh besarnya peran kaum politik Rusia terhadap kontrol media dan juga jangan lupa terhadap sistem Pers Komunis mereka.


Revisi Regulasi


Salahkah semuanya? Kelirukah semua dilakukan semata-semata untuk membangun citra diri ataupun kelompok di depan publik? Tak sepenuhnya salah juga. Bagaimanapun, setidaknya kegiatan tersebut ikut membantu masyarakat untuk mengetahui sosok-sosok calon yang akan jadi wakil suaranya nanti. Hanya saja, di permasalahnnya ini, dalam prosesnya tersebut para kelompok politisi pasti akan selalu memberikan citra positif tanpa diiringi tentang hal-hal negatif tentangnya. Tak seimbang. Bisa dikatakan seperti itu.


Kebanyakan perusahaan-perusahaan media itu milik pribadi (swasta). Mereka berhak untuk mengangkat kepentingan-kepentingannya di media miliknya. Namun tidak untuk beberapa hal. Jika media sudah terlalu berlebihan dan tak sesuai dengan proporsinya dalam memberitakan hal tersebut. Jelas, harus ada tindakan.


Sekali lagi. Hal tersebut tak sepenuhnya salah, karena di negeri ini tak ada aturan dan hukum detail juga tentang itu. Undang-undang tentang pers sendiri dinilai hanya mengatur tiga delik pers yakni pelanggaran atas praduga, pelanggaran terhadap norma susila dan pelanggaran terhadap norma agama. Delik penghinaan, perlindungan jurnalis dan independensinya belum diatur di undang-undang tersebut. Itulah mengapa, oleh banyak kalangan bahwa undang undang tentang pers perlu direvisi.


Undang-undang tentang pers dibuat dalam suasana euforia menyambut kebebasan pasca jatuhnya masa pemerintahan Soeharto. Jadi terkesan tergesa-gesa dalam pembuatannya. Maka dari itu pemerintah harus peka terhadap undang-undang tentang Pers. Perlu revisi. Jika tidak, hal itu akan berdampak pada masyarakat luas Indonesia sendiri.


Berhubungan dengan independensi, beberapa waktu yang lalu, pemerintah mengatakan akan melarang para aktor penyiaran menjadi pengurus partai politik. Lewat Staf Ahli Kemenkominfo bidang Komunikasi dan Media Massa, Henry Subiakto, menyatakan, larangan tersebut tercantum dalam revisi rancangan undang-undang penyiaran versi pemerintah.


Pemilik media massa, pengelola, penyiar, dan wartawan dilarang menjadi pengurus partai politik. Alasannya, aktor penyiaran yang merangkap pengurus partai politik akan merusak konten pemberitaan media yang akan berdampak tak baik juga pada khalayaknya. Namun demikian, usulan pemerintah terkait revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ini masih wacana. Bisa lolos dan ada kemungkinan juga tidak disetujui DPR.


Meskipun kebebasan pers dijamin dalam undang-undang, namun tak ada satu pun surat kabar atau majalah bahkan media massa lainnya yang dengan bebas melakukan suatu kesalahan, kejahatan, atau penghinaan dan pencemaran nama baik terhadapa seseorang, kelompok, organisasi atau instansi tertentu, baik disengaja maupun tak disengaja, kaena kelalaian atau pun kesembronoan. Dalam menulis, mengemas hingga menaikan sebuah berita politik, media dituntut untuk seimbang dalam memberitakannya. Media harus cover both side.


Media sering kali dianggap sebagai watch dog (anjing penjaga). Wilson Harris mengatakan bahwa pers adalah anjing penjaga bagi masyarakat. Artinya, media harus memfungsikan diri sebagai pengamat sosial. Pengamat sosial ini fungsinya meluruskan apa yang bengkok dan menjaga agar yang lurus agar tetap lurus.


Sebagai anjing penjaga, anjing itu harus bisa menjaga rumah majikannya. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, anjing harus menggonggong memmberitahu majikannya. Maksudnya agar tuannya waspada pada sesuatu yang harus dia pertimbangan untuk dilakukan.


Fungi media massa juga tak jauh berbeda dengan anjing penjaga tadi. Media harus menjadi pengawas. Media harus loyal terhadap majikannya. Majikan di sini bukan berarti pemilik media, namun masyarakat, karena hidup media adalah untuk masyarakat.


Jadi, jika ada sesuatu yang kejadian merugikan masyarakat umum itu sendiri, maka menggongolah



sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/11/24/menggonggonglah-watch-dog-610913.html

Menggonggonglah, Watch Dog! | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar