harga genset honda

Belajar Membangun ‘Mentalitas’ dari Jalan Raya


Setelah merasakan dan menyaksikan sendiri kondisi jalanan di Indonesia. Kurasa kata ‘brutal’ bisa mewakili suasana jalan raya kita. Saya melihat banyak kasus pengendara yang menghalalkan segala upaya demi kepentingannya sendiri . Padahal jalan raya adalah hak seluruh penggunanya bukan per individu/kelompok orang saja. Jalan raya yang sudah didesain dengan sedemikian rupa beserta dengan aturannya, tak lebih hanya sebagai formalitas belaka. Aturan serta merta tak dianggap oleh kebanyakan rakyat kita. Mulai dari menduduki daerah zebra cross, melanggar marka, menyerobot lampu merah ,mengambil lajur kanan padahal mau lurus(dan sebaliknya), melawan arus, memaksakan kehendak, dll. Anehnya banyak sekali pengikut ‘aliran’ seperti ini yang sering kita jumpai di jalan-jalan di Indonesia(dilakukan secara’ berjamaah’). Seolah-olah, hal tersebut dibenarkan dan dibiarkan terjadi, tanpa adanya tindakan tegas dari pihak berwenang. Ini adalah bukti bahwa kesadaran untuk tertib berlalu lintas di Indonesia sangat-sangat rendah . Mental para pengendara, terutama sepeda motor, dan angkot bisa dibilang sudah rusak. Atas nama kepraktisan, menghemat waktu, buru—buru, kejar setoran, macet, nggak ada yang ngawasin, ikut-ikutan dll, mereka mewajarkan hal tersebut. Tentu, hak pengendara lainnya menjadi terganggu, dan tak jarang membuat orang lain menjadi terancam keselamatannya atas ulah sekelompok masyarakat tersebut.


1385221497862960334

Bikers yang susah untuk tertib



Baru –baru ini juga ada kasus spesifik yang semakin membuat saya geleng-geleng kepala, ketika membacanya di sini. Begini, busway yang sudah ditinggikan pembatasnya pun, masih saja secara ekat diterobos oleh pengendara idiot itu. Padahal saya yakin 99% mereka mengerti tindakan mereka tersebut salah dan tak dapat dibenarkan atas alasan apapun. Saya juga amat yakin bahwa mereka bukannya tidak tahu tentang sosialisasi steriliasi busway yang sudah beberapa waktu ini digalakkan oleh Dishub beserta Pemprov Jakarta dan Polda Metro Jaya. Ternyata pembatas busway yang ditinggikan pun masih bisa mereka, sesama bikers goblok, akali dengan menggotong motor bersama untuk menghindari tilang. Padahal perilaku tersebut sangat berpotensi membahayakan kendaraan kainnya baik Transjakarta maupun pengendara jalan secara umum. Sudah tentu memerlukan proses dan waktu untuk memindahkan beberapa motor yang mempunyai berat 100 kiloan. Dapat dipastikan pula, motor mereka makan tempat jalan biasa yang dilalui kendaraan lainnya. Sudah gitu juga membuat Transjakarta menjadi terhambat. Saya sendiri, jujur masa bodoh dengan keselamatan orang-orang macam tersebut, tapi yang saya sayangkan tentunya pengendara lain yang menjadi korban sekelompok ‘koruptor jalan raya’ tersebut. Perilaku ‘maling’ ini ternyata masih begitu mendarahdaging. Bisa dibilang mereka-mereka ini sudah bebal, alias nggak mau tahu aturan, masa bodoh kepentingan umum. Gaya-gayanya saja mereka hidup dan mencari nafkah di Jakarta, Kota Megapolitan, Ibu Kota RI. Tetapi, kenyataan…oh, kenyataan… kelakuannya masih ‘barbar’. Manusia urban ternyata masih ada ya yang pola pikirnya ndableg kaya gini? Haduh…., betul betul memuakkan kita(yang merasa), para pengendara yang tertib berlalu lintas dan pengguna kendaraan umum. Sedikit banyak Kenyamanan dan waktu tempuh kita pasti terganggu oleh tingkah biadab pengendara-pengendara tersebut.


13852212981346264290

solidaritas ala bikers tolol




Solidaritas yang ditampilkan oleh para pelanggar aturan tersebut mungkin terlihat baik bagi mereka. Tetapi bagi kita, sebagai Bangsa Indonesia, hal tersebut sangat memalukan. Kebobrokan moral terpampang nyata di sana. Solidaritas ataupun gotong-royong yang dipraktikan bukan pada tempat yang sesuai. Hal ini sangat tak boleh dicontoh, karena gotong-royong walaupun merupakan budaya asli Indonesia yang perlu kita hargai dan kita junjung tinggi, tidaklah dibenarkan bila dilakukan untuk mengakali pelanggaran/melakukan sesuatu yang buruk. Makna/esensi gotong royong dalam kasus di atas sama sekali tidak sampai dan justru amat mencederai prinsip gotong-royong serta hukum itu sendiri. Kita semua setuju bahwa korupsi adalah perilaku tercela yang secara menggurita telah menggerogoti kesejahteraan dan yang tak kalah pentingnya adalah moral kita sebagai Bangsa Indonesia. Dari para anggota DPR, pemerintah, LSM, ormas, dan lain-lain sangat banyak yang menyuarakan anti korupsi. Lantas apa bedanya pengendara tersebut dengan terpidana korupsi? Toh mereka juga bahu-membahu dalam melakukan korupsi(atas:jalan, hak-hak umum)/alias solid sebagai sesama koruptor.


Bagi sebagian orang mungkin ada yang menganggap hal tersebut merupakan kejadian yang biasa terjadi di Indonesia. Banyak yang menanggapinya sebagai suatu guyonan semata. Tapi, bagi saya ini bukanlah hal yang sepele dan saya tak mau memandangnya sebagai guyonan saja.Ini sama sekali tak lucu! Jangan anggap sepele hal yang seperti ini, karena dengan demikian berarti kita sendiri memaklumkan perilaku tersebut menjadi semakin besar dan meluas di masyarakat kita. Atau bahkan malah beberapa dari kita dari yang dulunya taat dan diisiplin berlalu lintas, kemudian sebal , memaklumkan dan akhirnya kita sendiri yang ikut-ikutan melangggar lalu lintas. Tanpa disadari, anda/kita menjadi bagian dari mereka . Kasus Ini menggambarkan masalah moralitas bangsa kita yang buruk.


Dari jalan raya saya belajar beberapa hal. Jalan raya tak hanya sekadar jalan penghubung suatu daerah ke daerah lainnya. Jalan raya tak hanya sekadar sarana distribusi kebutuhan eknonomi. Jalan raya adalah potret, cerminan yang sesuai dengan kondisi dan jati diri sebuah bangsa. Bila jalan raya dan lalu lintasnya semrawut dan banyak yang semau gue, ya kita nilai sendiri sajalah bangsa seperti apa kita ini? Jalan raya juga mampu menceritakan kondisi nyata aspek-aspek kehidupan dan budaya dalam suatu bangsa tersebut. Jangan berpikir korupsi hanya sebatas dalam lingkup pemerintahan dan politik saja, kondisi jalan raya pun mampu menampilkan banyak budaya korup/maling di dalamnya. Melihat hal itu, wajarlah jika Indonesia dicap sebagai bangsa yang rusak/korup. Stempel itu sendiri, yang tanpa kita sadar/akui, kita sendirilah yang membuatnya demikian. Tinggal kita nya saja mau/tidak merubah? Bisa dimulai dari mana saja.


Salah satu caranya yang paling mendasar dan mudah adalah dengan tertib berlalu lintas. Kita bangun kesadaran akan ketertiban, kelancaran dan kenyamananan bersama di jalan. Jadi kita tertib berlalu lintas bukan lagi takut didenda,takut ditilang oleh Pak/Bu Polisi. Hilangkan jauh-jauh mentalitas tertib karena ada, dan melanggar karena tidak ada yang mengawasi. Kita bukan binatang(sorry) yang harus dikerasi dan diawasi terus-menerus. Kita semua adalah manusia yang berakal budi. Kita semua harus ingat bahwa kita ini sederajat dan tidak kalah/inferior dengan manusia-manusia dari bangsa lain. Kita ini sederajat dengan Orang Singapura, Jepang, USA, Malaysia, Australia , China dll. Jika mereka manusia dari negara lain saja mampu untuk menerapkan disiplin dalam berlalu lintas, mengapa kita tidak bisa? Mereka bisa maju juga salah satunya karena kesadaran diri yang tinggi dalam tertib berlalu lintas. Itulah yang membedakan kita dengan mereka. Jadi, jalan raya jangan dipersepsikan sebagai suatu cara meninggikan ego , melainkan sebagai wadah kita untuk melangkah maju bersama membangun ekonomi dan mentalisme bangsa kita ke depan yang lebih baik.


Saya yakin, semacet apapun jalanan, bila tak disertai dengan ego dan pelanggaran lalu lintas yang tinggi dari para penggunanya, akan lebih cepat terurai dan bergerak dibandingkan dengan kondisi jalanan yang macet , ditambah lagi banyak pelanggaran lau lintas di dalamnya. Justru, kalau seperti itu terjadi yang ada malahan bukan semakin terurai/ bergerak, malah tambah memperparah kemacetan dan membuat orang semakin emosi di jalanan. Semoga tulisan sederhana ini bisa menginspirasi kita, terutama ketika berkendara di jalan.



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/23/belajar-membangun-mentalitas-dari-jalan-raya-613575.html

Belajar Membangun ‘Mentalitas’ dari Jalan Raya | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar