harga genset honda

ETIKA BERKAMPANYE DI MEDIA SOSIAL


Beberapa hari yang lalu teman sekampung saya memasang foto anaknya di akun facebook. Anaknya itu masih berumur sekitar dua tahun dan sedang lucu-lucunya. Tiba-tiba komentar pertama yang muncul adalah sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan foto itu. Idealnya komentar yang disampaikan berkaitan dengan foto itu. Misalnya, “duh lucu banget sih anaknya” atau “keren” atau “Cakep ya kayak bapaknya ^_^”


Tetapi komentar yang pertama muncul adalah :


“Mohon do’a restu. Saya Drs ANU,MM. dosen di Universitas ANU. Pada pemilu 2014 maju menjadi calon anggota legislatif dari Partai BEREGU untuk DPRD Kabupaten ANU daerah pemilihan sekian sekian. Tolong disebarkan.”


Ehm..


Sebelumnya saya pernah menemukan seorang caleg berkampanye di grup facebook Yayasan Lupus Indonesia. Grup facebook yayasan lupus adalah tempat berkumpul dan berbagi pengalaman serta informasi tentang penyakit lupus. Biasanya postingan yang beredar di grup itu berisi tips hidup sehat bagi odapus, curhat para penderita lupus dalam menghadapi penyakit yang diderita hingga berita duka cita penderita lupus yang meninggal dunia atau sedang dalam perawatan di rumah sakit.


Tiba – tiba saja ada seseorang yang tidak dikenal sesama odapus memperkenalkan diri.


“Perkenalkan saya si BOY, Calon Anggota DPR RI dari partai GUREM, no urut sekian dapil sekian. Mohon do’a dan dukungannya.”


Berharap simpati dan menambah pendukung justru caci maki yang didapat.


Yang terparah, saya pernah menemukan komentar aneh di grup facebook kedaerahan. Waktu itu ada yang menulis status berita duka cita tentang kematian seorang ulama yang cukup terkenal dan disegani di daerah tersebut.


“Innalillahi wa ina ilaihi rajiun. Telah meninggal dunia dengan tenang, KH …..pada hari…. Jam…. Semoga almarhum mendapatkan tempat yang baik disisiNya, segala amal ibadahnya diterima dan segala kesalahannya diampuni….”


Banyak komentar yang mengucapkan bela sungkawa, mengucapkan do’a hingga ada yang merasa sangat kehilangan. Kolom komentar baik-baik saja dengan kata-kata penuh makna hingga kemudian berubah menjadi gaduh ketika tiba-tiba seseorang menuliskan komentar yang terasa janggal.


“Mohon do’a restu. Pada pemilu 2014 Saya akan kembali maju. Kali ini tidak melalui jalur partai tetapi melalui jalur independen. Yaitu menjadi Calon Anggota DPD RI daerah pemilihan Propinsi Jawa Barat. Tertanda H. UDIN, SH,MH,MM.”


Saran saya, sebaiknya para calon anggota legislatif mempelajari etika dalam menggunakan media sosial. Harus mengerti mana yang pantas dan tidak pantas. Dengan demikian sosialisasi yang dilakukan tidak menjadi aneh. Untuk kalangan petahana misalnya menginformasikan hal-hal apa saja yang telah dilakukan selama menjadi wakil rakyat. Untuk para penantang baru misalnya menuliskan hal-hal apa saja yang akan dilakukan jika kelak masuk ke dunia parlemen. Tentu saja dengan menggunakan bahasa yang tidak kaku.


Walaupun saya sendiri tercatat sebagai kader partai politik yaitu PARTAI KEADILAN SEJAHTERA, Saya tidak menyukai cara-cara sosialisasi yang terlalu dipaksakan seperti tiga contoh diatas.


Saya tidak akan mengajak rekan-rekan di dunia maya untuk mencoblos PKS sekarang. Coblos PKS nya nanti saja tanggal 9 April. Jangan sekarang, belum ada TPS nya.


^_^


twitter: @enjang_as




sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/11/25/etika-berkampanye-di-media-sosial--612918.html

ETIKA BERKAMPANYE DI MEDIA SOSIAL | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar