harga genset honda

Budaya Penyediaan Air Minum Umum di Australia atau Piyaos di Indonesia


Minum air kendi

SETIAP pulang sekolah, banyak anak SD berhenti di depan warung menjual es dawet pinggir jalan besar untuk minta minum. Entah siapa yang memulainya, anak-anak itu dengan ceria meminum air dari kendi yang disediakan oleh pemilik warung.


Cara meminumnya tidak boleh menempelkan mulut di ujung kendi di mana air itu keluar. Bagi anak SD, meminum air kendi tanpa menyentuhkan mulut di ujung kendi bukanlah pekerjaan gampang, apalagi harus mengangkat kendi berisi air yang cukup berat itu hingga di atas mulutnya. Beberapa dari mereka tersedak dan air membasahi baju mereka. Namun ada juga yang lancar-lancar saja meminumnya. Air dalam kendi itu mengucur dengan teratur ke mulut dan menelannya tanpa mengatupkan mulutnya.


Di depan warung tersebut banyak abang becak mangkal menanti penumpang. Kendi air itu memang diperuntukkan bagi abang becak yang mangkal di situ atau siapapun yang membutuhkan. Biasanya selain abang becak juga para pedagang keliling yang jalan kaki memanfaatkan air kendi itu. Tapi anak-anak SD itu dibiarkan ikut mengambil minum oleh pemilik warung maupun abang becak yang menyaksikan ulah anak-anak SD itu.


Kendi air itu setelah diminum akan diisi kembali oleh pemilik warung. Diambilkan dari genthong sebuah penampung air yang lebih besar di dalam warung. Entah kenapa, air serasa segar jika disimpan dalam bejana dari tanah itu. Rasanya sejuk. Untuk itulah, anak-anak SD senang meminumnya. Kendi air itu senantiasa tersedia di depan warung penjual es dawet itu. Siapapun boleh minum tanpa dipungut beaya. Dan tidak harus masuk warung untuk membeli es dawetnya.


kendi tradisional

Kendi tradisional. Sumber foto: https://picasaweb.google.com/lh/photo/nRrFymf3HUv-M8nzSvWAKtMTjNZETYmyPJy0liipFm0



Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1970an. Warung itu kini sudah tidak ada. Sudah berganti dengan deretan toko. Warung yang dulu nampak rindang karena adanya pohon-pohon waru di depannya, kini gersang karena tanahnya tertutup aspal dan semen. Selokan kecil di depan warung juga sudah ditutup semen. Selokan itu dulunya sebagai penampung air hujan dari jalan untuk kemudian menuju sungai sudah hilang tanpa bekas. Meski tidak jernih benar, namun bisa didapati ikan-ikan kecil di situ.


Pada tahun-tahun itu, menyediakan minum bagi pejalan kaki sebagai hal lumrah. Rumah penduduk masih jarang dan orang lebih sering jalan kaki karena belum banyaknya angkutan umum. Biasanya warung-warung pinggir jalan menyediakan air minum tersebut dalam sebuah kendi. Rumah-rumah di kampung ada juga yang menyediakan kendi di depan rumahnya. Terutama bila rumahnya terletak di tempat-tempat strategis dimana banyak orang lalu lalang. Kadang orang tak dikenal tidak segan-segan mengetuk pintu minta segelas air minum. Penulis ingat waktu kecil ketika berkunjung ke rumah nenek di desa, ada orang lewat minta segelas air. Dan nenek biasa saja mengambilkan dari dapur. Kadang penulis sendiri mengambilkan segelas air untuk tamu tak diundang tersebut. Semua berlangsung cepat. Begitu menerima air langsung diminum dan meneruskan perjalanannya kembali setelah mengucapkan terimakasih.


Budaya penyediaan air minum secara gratis atau “piyaos” buat orang lewat adalah hal lumrah kala itu. Tapi entah sejak kapan budaya tersebut mulai ditinggalkan. Penduduk makin banyak dan orang lewat mulai jarang minta air minum. Piyaos dalam bahasa Jawa berarti “pemberian” atau jika ada kandungan sakralnya berarti “persembahan” atau bisa juga diartikan sebagai “sesaji”. Kendi air minum yang disediakan bagi orang tak dikenal yang lewat karena kehausan mengandung nilai sosial yang tinggi diwariskan oleh leluhur kita. Orang tak dikenal dan perlu bantuan itu posisinya ditinggikan. Jadi bukan diperlakukan sebagai seorang pengemis. Mereka minta air minum sumber hidup itu tanpa basa-basi atau bersalah.


Mungkin budaya piyaos ini masih bisa dijumpai di pelosok-pelosok desa di Jawa. Atau mungkinkah sudah benar-benar hilang dari kebudayaan kita? Orang tidak lagi peduli dengan keadaan orang lain lagi? Minta air minum tapi buntutnya malah bikin repot?


halte bus Penyediaan air minum untuk umum di halte bis. Sumber foto: dokumentasi pribadi.


Budaya Piyaos di Australia


Ternyata budaya penyediaan air buat orang lewat, pejalan kaki, atau pendatang dalam perjalanan juga dilakukan oleh masyarakat Australia. Bahkan penyediaan air minum tersebut terdata dengan baik dan dikelola oleh pemeritah kota setempat.


Tempat air minum atau drinking fountain atau juga disebut bubbler bisa dijumpai di banyak tempat di kota-kota Australia. Terutama di tempat-tempat umum di mana banyak orang lewat. Misalnya di taman, di stasiun, di tempat pemberhentian bis bahkan juga didapat di dekat tempat orang belanja. Beberapa toko penjual barang-barang bangunan biasanya juga menyediakan tempat air minum ini. Tempat air minum juga bisa didapati di sekolah, tempat-tempat kursus, lembaga pendidikan akademi dan universitas dalam berbagai bentuk dan model.


Air minum di taman Di taman-taman umum hampir pasti disediakan tempat air minum untuk umum. Foto: dokumentasi pribadi.


Sebagaimana minum air kendi yang tidak boleh menempelkan mulutnya di ujung kendi, air minum dari bubbler ini juga mempertimbangkan alasan kesehatan. Orang tidak perlu menempelkan mulutnya di ujung kran. Air akan menyembur pelan dan bertekanan rendah karena sudah disesuaikan. Tekanan air ledeng dari pemerintah tersebut amat tinggi. Bila tidak disesuaikan bisa muncrat ke muka orangnya. Perlu diketahui air ledeng di Australia bisa langsung diminum tanpa harus dimasak. Maka jangan heran jika anda berkunjung ke orang rumah orang Australia dan minta air putih, langsung diambilkan dari air ledeng. Terasa aneh juga jika pertama kali kita mengalaminya. Karena terasa kurang sopan jika terjadi di tanah air.


Penyediaan air minum umum tidak saja buat manusia tapi juga buat binatang pengiringnya, biasanya kuda atau anjing. Pada tahun 1891 menurut catatan dewan kota Sydney, ada sekitar 42 tempat air minum buat binatang. Hingga pada tahun 1913 cuma bertambah menjadi 69 tempat. Namun tempat air minum buat kuda atau anjing ini berangsur-angsur dihilangkan karena perkembangan kota. Kini hampir tidak bisa ditemukan bekasnya lagi. Sementara tempat air minum buat manusia bertambah terus sepanjang tahun dan disesuaikan dengan perkembangan keadaan. Pada tahun 1913 tercatat terdapat 60 tempat air minum di kota Sydney. Perkembangan kota di luar Sydney masih mempertahankan keberadaan penyediaan air minum hingga kini. Untuk membaca sejarah tentang penyediaan air minum umum ini bisa dibaca di sini.


Meski sekilas tempat air minum umum jarang dipergunakan oleh masyarakat, namun sepertinya tidak dihilangkan begitu saja. Disediakan sebagai bagian dari sarana umum itu sendiri. Semacam sudah satu paket. Karena meski jarang dipergunakan bukan berarti tidak ada orang yang membutuhkan. Sesekali tempat air minum ini dibutuhkan juga oleh orang. Ibaratnya bagai fungsi lampu emergency di sebuah mobil. Meski jarang dipergunakan, bukan berarti tidak penting dan tidak dibutuhkan. Sesekali waktu, pasti lampu emergency itu dipergunakan juga.*** (HBS)




sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/24/budaya-penyediaan-air-minum-umum-di-australia-atau-piyaos-di-indonesia-613719.html

Budaya Penyediaan Air Minum Umum di Australia atau Piyaos di Indonesia | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar