harga genset honda

Dinasti Kolonial Ratu Atut


“Akibat korupsi yang gawat, Indonesia semakin tertinggal


oleh Negara tetangga di Pasifik Rims.”


– Nurcholish Madjid, 2003 –


Dimuat di Radar Sulbar; Jumat, 22 November 2013


Sudah tiga pekan lebih sejak tertangkapnya Akil Mochtar hingga hari ini, hingar-bingar pemberitaannya masih terus menyelimuti beragam media massa Tanah Air. Pasalnya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini, yang sedari awal diduga KPK terlibat dalam kasus suap Pilkada Kalimantan, pada perjalanannya sampai melibatkan sejumlah petinggi pemerintahan di daerah Banten, tepatnya di Dinasti Ratu Atut, Gubernur Banten.


Satu masalah belum kelar, yang lain ikut menyusul. Mungkin anggapan ini yang sekarang ada dalam benak KPK. Masalah korupsi, apalagi yang melibatkan sejumlah petinggi dan elit politik, penyelesaiannya tak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Integritas adalah hal terpenting dan utama yang harus dipertahankan penuh oleh KPK. Di samping itu, nyali yang ciut hanya akan melanggengkan kekuatan si penguasa. Ujian semacam ini tentu akan sangat berat, terutama bagi KPK.


Kasus (korupsi) yang melibatkan sejumlah elit dan penguasa, seolah membenarkan apa yang oleh Gus Dur pernah dilontarkannya. Pancasila dan Konstitusi sebagai dasar berpijak sebuah bangsa begitu gamblangnya diucapkan, tetapi dalam hal perealisasiannya, sungguh sulit untuk dilaksanakan (Gus Dur, 1997). Mengapa yang demikian ini kerap terjadi? Ketika ketamakan dan kerakusan menyelimuti hati nurani seseorang, apapun cara akan dilakukan untuk menarget kepuasan diri pribadi dan golongannya. Halal atau haram, tak peduli untuk dilibas secara rata tanpa kendali.


Kilas balik menilik sejarah, dominasi – lebih tepatnya hegemoni – penguasa Banten di bawah tangan Sang Ratu Atut jelas bukan ibarat bayi yang lahir dari kemarin sore. Hegemoni bisnis dan dinasti politik yang dibangun keluarga Ratu Atut ini, menurut salah satu sumber, tidak berlangsung secara singkat, melainkan bertahap, terjal, dan penuh dengan hambatan.


Bermula dari Chasan Sochib yang tak lain adalah ayah kandung dari Ratu Atut, keluarga Atut memiliki usaha besar yang bernaung di bawah PT Ciomas Raya di mana PT tersebut mendapat proyek senilai ratusan juta rupiah. Selain itu, keluarga ini juga disebut-sebut sebagai keluarga Jawara yang cukup disegani seantero Banten. Di saat itulah kemudian keluarga Atut dipandang sebagai keluarga yang paling berpengaruh di daerah ini. Bermodal kapital kuat dan jiwa kharismatik tradisional, keluarga ini kemudian melebarkan sayapnya sampai kepada penguasaan seluruh jajaran posisi terpenting di daerah Banten. Pasca reformasi 1998, hegemoni dan cengkaraman kerajaan bisnis dan politik keluarga ini semakin memperkokoh eksistensinya, menguat tak tertandingi. Maka tak heran ketika dinasti Ratu Atut sebagimana hari ini bisa kita simak, bercokol paling kokoh di wilayah paling barat Pulau Jawa itu.


Max Havelaar Multatuli


Tarik ulur ke belakang lagi, Eduard Douwes Dekker, seorang pegawai pemerintahan Hindia Belanda di daerah Banten tahun 1859, pernah memperlihatkan bahwa sejarah penindasan di daerah Banten bisa dikatakan sudah mendarah daging alias mengakar jauh ke akar tunjang yang paling kuat di bawah tanah. Douwes Dekker alias “Multatuli” (nama samara) dalam bukunya berjudul “Max Havelaar” (Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda, 1972) mengisahkannya dengan lugas akan kesewenang-wenangan pemerintahan kolonial Belanda di Hindia Belanda, terutama di tempat ia bekerja sebagai asisten residen Lebak, Banten.


Dalam uraiannya, Multatuli melontarkan gugatan yang tajam terhadap ketidakadilan dan penderitaan yang menimpa penduduk bumiputera saat itu. Ia sangat menyadari bahwa nasib penduduk di sana sangatlah buruk, sehingga menerima jabatan sebagai asisten residen, baginya, adalah orang tepat serta jabatan yang tepat pula. Kejeliannya dalam mempelajari arsip-arsip yang tinggal pendahulunya, C.E.F Carolus, mempertajam analisisnya untuk menyuarakan realitas kesewenang-wenangan terhadap penduduk Lebak yang dilakukan oleh bupati dan kepala-kepala rendahan, terutama Demang Parangkujang, Raden wira Kusuma (menantu bupati).


Kejujuran Dekker dalam menjalankan kewajibannya sebagai asisten residen secara ideal, justru berujung pada pukulan keras yang ia terima langsung dari Gubernur Jenderal, yakni keputusan Gubernemen yang menyatakan bahwa tindak-tanduknya tidak dapat dibenarkan, dan bahwa tindakannya tersebut menimbulkan kesan bahwa ia tidak cakap memangku jabatan dalam Pangreh Praja. Karena itu, ia akan dipindahkan sehari setelah kuputusan itu ia baca.


Dalam karirnya, pandangan Gubernemen, Multatuli (Douwes Dekker) memang tak pernah menunjukkan keberhasilannya sebagai amtenar yang sukses di hampir wilayah Indonesia di mana ia pernah bercokol, seperti di Natal (Sumatera), Manado (Sulawesi), dan Ambon (Maluku). Sampai di posnya yang terakhir, Lebak, Banten, ia dianggap hanya sebagai seorang kolonial Belanda yang gagal total sampai pada tahun 1856. Ia “dipaksa” mengundurkan diri dari jabatannya hanya karena hendak memberikan bentuk ideal kepada sumpah jabatannya, cita-cita dari apa yang dirasakannya sebagai keadilan. Baginya, penyalahgunaan kekuasaan adalah keterlaluan, dan karena itu harus segera diambil tindakan. Ia bertindakan sebagaimana ia harus bertindak sebagai manusia. Bukti-bukti yang dipegangnya, hanya bisa sebagai tabungan yang tidak boleh untuk dirogoh secuilpun. Teranglah bahwa Dekker adalah korban suatu mentalitas birokratis yang selalu mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya, tanpa pernah menyentuh wilayah kebutuhan lingkungannya: rakyat.


Berangkat dari kisah di atas, tentu bisa disebutkan bahwa hegemoni bisnis dan dinasti politik keluarga Ratu Atut hari ini, yang sedikitnya sudah mulai goyah, terang di bangun di bawah pengaruh kekuatan kolonial dahulu kala. Setidaknya, sikap ambisius untuk menguasai seluruh wilayah Banten alias tanah Max Havelaar oleh keluarga Ratu Atut, teramat terang untuk kita simak dewasa ini. Sejak tahun 2006, ambisiusitas itu begitu nampak. Kita mungkin tidak akan melupakan, bagaimana Ratu Atut Choisiyah mempunyai kakak kandung Wakil Bupati Serang Ratu Atut Chasanah. Kakak tiri Atut Walikota Serang Tb Haerul Jaman. Kakak ipar Atut Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, dan anak tiri Wakil Bupati Pandeglang Hervani. Anak kandung Atut sendiri, Andika Hasrumy anggota DPD RI saat ini, dan nanti akan diproyeksikan menjadi caleg DPR RI 2014 – 2019. Adapun Hikmat Tomet merupakan suami dari Atut yang juga mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI 2014 – 2019. Serta masih banyak lagi keluarga dinasti ini yang mengisisi posisi terpenting di Banten. Begitu luar biasanya memang.


Sekilas, jauh hari sebelum kasus Akil Mochtar dan sengketa Pilkada Lebak mencuat, tudingan bahwa Ratu Atut sedang berusaha membangun dinasti politik di Provinsi Banten memang sudah sempat mengemuka. Sebelumnya lambat laun mereda, lalu mencuat kembali sebagaimana yang ada di sejumlah pemberitaan media massa hari ini.


Jika kita menilik jauh tentang kondisi penghidupan rakyat Banten hari ini (secara keseluruhan), tentu kita akan mengamini bahwa pembangunan dinasti politik keluarga Atut terang bukan demi menyejahterakan rakyat Banten, tetapi memerasnya sampai habis hingga yang tertinggal hanyalah ampasnya. Masih mending ketika dipungut, tapi kalau dibuang begitu saja? Ibarat pepatah, habis manis sepah dibuang. Kondisi ini jelas yang akan terjadi. Sedang pada Ratu Atut dan keluarganya, hanya bisa berlenggak-lenggok, menari-nari di atas segala penderitaan dan kemiskinan rakyat Banten. Ironis.


Karenanya, anggapan bahwa pemerintahan Banten di bawah kekuasaan Gubernurnya tidak lain adalah perpanjangan tangan dari kekuasaan Belanda, jelas sekali sebagai anggapan yang tepat. Hanya saja, penjajah hari ini di bawah kuasa Presiden SBY dengan Gubernurnya seorang Ratu Atut Choisiyah. Harapan yang ada hanyalah ingin melihat bahwa Multatuli-Multatuli Muda akan lahir di tengah kicauan realitas yang diperparah oleh penindasan, pemerasan, serta pemiskin, tidak hanya di daerah Banten, tetapi di seluruh wilayah rakyat Indonesia di bangsa ini. Bahwa tindakan korupsi hanya akan menjadikan sebuah bangsa menjadi bangsa yang tertinggal dari bangsa-bangsa yang lain. Lebih parahnya, hanya akan menjadi ladang subur para penguasa dan pemodal, sedang rakyat jelata hanya bisa hidup dengan makan sesuappun hampir tidak.



sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/11/25/dinasti-kolonial-ratu-atut-610962.html

Dinasti Kolonial Ratu Atut | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar