harga genset honda

Melamar Kerja dan Rasa Malu Itu


Hampir sepuluh tahun yang lalu namun pengalaman melamar kerja di sebuah perusahaan di Jogja masih kadang terngiang di kepala. Saat itu saya masih kerja di Jakarta, namun seperti halnya anak-anak muda lain yang jarang puas dengan posisi (dan gajinya) di tempat yang lama memaksa saya untuk “tengok kanan kiri”. Sampai suatu ketika teman kos yang rajin membeli koran Kompas hanya di setiap sabtu, memberi tahu bahwa ada perusahaan di Jakarta yang membuka lowongan untuk kantor cabangnya di Jogja, kota asal saya sebelum mendapatkan kerja di Jakarta. Wah lumayan ini, kerjaan bagus, gaji Jakarta tapi hidup dengan biaya murah khas Jogja, di kota saya sendiri, demikian pikiran saya bicara. Saya tetap berhitung bahwa dengan gaji standar ibukota yang akan saya terima di Jogja nantinya masih ada sisa untuk ditabung. Daripada gaji Jakarta tapi habis dimakan operasional Ibu kota yang katanya konon lebih kejam daripada ibu tiri.


Tanpa menunda waktu, segera saya membuat surat lamaran untuk dikirimkan ke perusahaan tersebut. Entah mengapa, tak seperti lamaran yang sudah-sudah di tempat lain, tanpa menunggu lama (tak sampai dua minggu) saya mendapat panggilan untuk tes wawancara di Jogja.


Sebetulnya dalam hati kecil malu juga saya untuk pulang dan kerja di Jogja karena di daerah selalu dikesankan bahwa mereka yang cabut/hengkang dari Ibu kota adalah orang-orang yang “kalah”. Orang-orang yang tak mampu lagi bersaing dengan ganasnya kehidupan. Tapi masa bodohlah daripada gaji habis tanpa sisa (kalau jadi kere akan tambah malu lagilah saya). Rasa malu inilah yang akhirnya memaksa saya untuk terpaksa sembunyi-sembunyi sewaktu ke Jogja untuk tes wawancara.


Meskipun tanggal tes wawancara telah ditetapkan jauh hari sebelumnya namun saya tidak mengambil kesempatan itu untuk berangkat lebih awal. Malu kalau harus beristirahat dulu di rumah di Jogja dengan alasan menunggu hari wawancara kerja. Untuk menginap dan beristirahat di hotel, dana terlalu cekak. Berangkatlah saya pada H-1, di sore hari dari Stasiun Kereta Jatinegara, Jakarta Timur. Saya naik kereta kelas ekonomi sebab harganya memang ekonomis. Waktu itu harga tiketnya kalau tidak salah sekitar dua puluh lima ribuan. Selain membawa baju ganti, tak lupa koran bekas turut ikut menemani. Bagi yang belum pernah naik kereta ekonomi di jaman itu, sekedar infomasi bahwa penumpang bebas menduduki kursi yang masih kosong. Tiket hanya sebagai bukti seseorang berhak naik kereta, tetapi tidak berhak meng-klaim nomor kursi. Siapa cepat dia dapat. Kursi keretanya pun keras dan sandarannya tegak. Jangan harap dapat tidur dengan nyenyak. Apalagi pedagang asongan sepanjang malam perjalanan terus hilir mudik di dalam gerbong. Apa jadinya wawancara esok hari kalau saya berwajah pucat kusut kuyu karena kurang tidur. Untuk itulah nantinya fungsi kertas koran yang saya bawa akan saya jelaskan.


Naik dari Stasiun Jatinegara, saya beruntung mendapati beberapa kursi masih kosong. Segera saya memilih yang dekat jendela. Ketika kursi mulai penuh terisi dan sebagian besar orang berdiri atau jongkok di ujung-ujung gerbong, inilah momen yang saya tunggu. Saya menawarkan kepada bapak yang kebetulan tidak dapat kursi untuk menduduki kursi saya, imbalannya saya boleh tidur dan selonjor di kolong kursinya beralas koran yang saya bawa tadi! Deal. Menurut saya, tidak ada tidur yang lebih nikmat selain badan dan kaki kita bisa lurus tanpa tertekuk, dan itu hanya bisa dilakukan di kolong kursi, di lantai kereta, beralas koran bekas. Bukan tiduran dengan duduk di kursi kereta ekonomi yang busanya tipis dan sandarannya tegak. Aman pula dari injakan pedagang asongan. Nyenyak sekali tidur saya waktu itu, ketika hampir sampai Stasiun Kereta Lempuyangan Jogja, saya sudah terbangun. Terasa segar siap menghadapi wawancara walaupun badan agak bau semacam debu, keringat, bercampur besi khas penumpang kereta ekonomi.


Setelah kereta berhenti, hari masih agak pagi. Segera saya mencari kamar mandi umum di stasiun tersebut. Mandi pagi menyambut hari. Cukup dua ribu rupiah, badan segar wangi dan rapi. Wawancara kerja pun saya hadapi dengan lancar dan penuh semangat. Beberapa tes juga saya lalui sampai tengah hari selesailah. Saatnya kembali lagi ke Jakarta. Semua kegiatan tes yang saya alami hari itu tidak saya kabarkan kepada orang-orang di rumah, yang jaraknya sebenarnya hanya sepuluh menit naik ojek dari tempat wawancara. Malu.


Beruntung ketika tes saya mendapat kenalan sesama pelamar kerja, dengan baik hati dia mengantarkan saya dari kantor perusahaan itu ke stasiun kereta. Hemat. Kadang terpikir juga, begitu banyak orang baik yang tidak saya kenal membantu perjalanan hidup saya. Mereka datang dan pergi begitu saja membawa kebaikan, seperti malaikat. Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk membalas kebaikan itu selain mendoakan mereka.


Alih-alih pulang ke rumah atau mampir ke tempat teman, dari siang sampai sore saya menunggu di mushola stasiun untuk menunggu jadwal keberangkatan kereta yang akan membawa saya kembali ke ibukota. Menjelang maghrib kereta berangkat menuju Jakarta dengan saya di dalamnya dan kegalauan hati atas apa yang telah saya lakukan seharian tadi. Betapa dahsyatnya perjuangan meraih penghidupan jika “harga diri” ikut tercampur. Untuk pulang ke rumah sekedar beristirahatpun terasa malu.


Tak menunggu lama, nasib baik berpihak pada saya. Dering ponsel berbunyi. Nomor di display menunjukkan panggilan berasal dari Jogja. Dari perusahaan itu. Hari itu saya mendapat kabar diterima kerja di kota asal saya. Dalam kasus demikian, lebih mudah menjawab pertanyaan saudara dan teman-teman di Jogja ketika saya pulang untuk bekerja di perusahaan yang memiliki kantor pusat di Jakarta. Malunya tidak terlalu kental. Mereka akan mengira saya ditempatkan di sini.



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/23/melamar-kerja-dan-rasa-malu-itu-610683.html

Melamar Kerja dan Rasa Malu Itu | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar