harga genset honda

Dokter Profesi Suci, Pasien Hanya Sampah!


Dokter sebenarnya adalah profesi yang tak ada bedanya dengan profesi-profesi lainnya di Indonesia dilihat dari kedudukannya di mata hukum. Sebab tak ada satu aturan pun yang memberi hak kekebalan hukum pada profesi dokter. Dengan demikian semua profesi dan pribadi-pribadi yang ada di dalamnya harus tunduk pada aturan yang berlaku.


Namun, penetapan dr Dewa Ayu Sasiary Sp.OG sebagai terdakwa kasus malpraktek terhadap Julia Fransiska Makatey, 25 tahun, pada 2010 lalu, seakan memutarbalikkan semuanya. Entah hanya karena dilatar belakangi solidaritas sesama dokter atau karena ada faktor menganggap dokter sebagai profesi yang suci, para dokter dari berbagai daerah serta merta melakukan aksi unjuk rasa, bahkan mau mogok segala. Sebuah reaksi yang menurut saya berlebihan, sebab hanya membela rekan satu korps, mereka melupakan ribuan pasien yang menjadi tanggung jawabnya.


Di Kompasiana sendiri, ada beberapa kompasianer yang berprofesi sebagai dokter, dan mereka pun telah menunjukkan sikapnya melalui tulisan. Ada yang ikut reaktif dengan membela dr Ayu secara membabi buta, ada yang setengah-setengah dan bahkan ada yang realistis mengatakan bahwa aksi mogok bagi para dokter bukanlah aksi yang bijak.


Melihat masalah ini sejatinya kita kembali pada aturan yang ada, bahwa tak ada profesi apapun yang kebal hukum, jika memang tindakan orang yang bersangkutan melanggar aturan yang ada, maka dia harus siap diproses secara hukum. Jika alasan keberatan dari para dokter adalah dr Ayu dan dokter-dokter lainnya berniat menolong dan dari awal tidak ada niatan membahayakan, maka hal tersebut selama ini juga sudah berlaku pada profesi lain.


Saya contohkan seorang masinis yang kereta apinya mengalami kecelakaan dan ternyata berdasarkan penyelidikan dan penyidikan bahwa kecelakaan tersebut disebabkan oleh kelalaian si masinis, maka mau tidak mau ia harus mempertanggung jawabkan kelalaiannya tersebut secara hukum. Si masinis tadi jelas pada awalnya tak ada niatan mencelakakan kereta dan semua penumpangnya, tapi kealpaan yang ia perbuat dengan berbagai penyebabnyalah yang menjadi penyebab kecelakaannya.


Adakah solidaritas dari kalangan masinis untuk masinis yang malang tersebut..? Adakah yang memperhatikan nasib masinis tadi? Tidak! Ia mempertanggung jawabkan kealpaannya secara pribadi. Seyogyanga profesi dokter harus bisa belajar dari profesi-profesi lain yang lebih bertanggung jawab dan bukan malah ngotot menyatakan seakan-akan dr. Ayu tidak bersalah.


Apalagi jika kita melihat fakta bahwa ternyata kasus malpraktek sangat banyak. Menurut Tempo.co (21/11/2013), hingga Januari 2013, Konsil Kedokteran Indonesia menerima pengaduan dugaan malpraktek sebanyak 183 kasus. Kini perkara malpraktek masih terbuka dibawa ke peradilan umum karena undang-undang yang ada memungkinkan hal ini. Kasus yang menyangkut malpraktek diatur dalam tiga paket Undang-Undang Kesehatan (UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit).


Jadi, aturan di ataslah yang menjadi alasan Mahkamah Agung dalam menghukum dr. Ayu sekaligus sebagai jalan penutup kasus-kasus malpraktek lainnya diselesaikan di Majlis Kehormatan Kedokteran IDI. Mahkamah Agung sudah tepat dalam menjatuhkan vonis, bahwa tak ada profesi apapun yang kebal hukum. Jika memang bersalah ya harus siap menerima resiko kesalahannya. Apalagi jika kita merujuk pada aturan yang digunakan IDI, pelaku malpraktek hanya akan diganjar dengan pencabutan izin prakteknya dan atau disekolahkan lagi.


IDI dan para dokter harusnya mawas diri dengan kejadian ini, bukan malah menonjolkan pembelaan yang berlebihan. Sebab para pasien selama ini juga banyak yang mengeluhkan terhadap pelayanan para dokter, hal ini justru seharusnya yang harus diperbaiki IDI. Para dokter yang dikeluhkan tersebut harusnya dibina dan jangan dimanjakan dengan pembelaan semata ketika para dokter mengalami kasus.


Lihatlah pengakuan Yulin Mahengkeng, ibu Fransisca korban malpraktek di bawah ini dan mari kita renungkan jika misalnya hal ini terjadi pada keluarga kita;


“Bagaimana mereka itu tidak salah. Anak saya masuk rumah sakit jam 7 pagi dan sudah dijelaskan perlu untuk dioperasi karena telah pecah ketuban. Para dokter (dokter Ayu cs) baru menanganinya jam 10 malam karena melihat kondisi anak saya yang sudah sangat kepayahan. Bahkan operasinya pun tak kami ketahui,” kata Yulin. (Tempo.co, 20/11/2013).


Para dokter mungkin punya alibi pembenar dalam pembelaannya, tapi mereka pun tidak bisa menafikan keluh kesah para pasien terhadap prilaku dokter yang sudah sangat umum diketahui. Para dokter jangan lagi bersembunyi di balik data otentik dalam menanggapi keluhan ini, tapi jika mereka peka, mereka akan dengan mudah mengetahui hal ini.



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/24/dokter-profesi-suci-pasien-hanya-sampah-612594.html

Dokter Profesi Suci, Pasien Hanya Sampah! | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar