harga genset honda

Bahaya Komersialisasi Pendidikan


Keuntungan Atau Kerugian kah jika putra-putri terbaik bangsa ini dapat beasiswa luar negeri?. Jika melanjutkan ke pendidikan tinggi begitu mencekik leher tentunya siswa yang berprestasi lebih merasa di apresiasi oleh bea siswa dari Negara ‘Kaya’.


Buat keluarga tentu jawabannya sangat menguntungkan dilihat dari berbagai aspek seperti aspek biaya umumnya keluarga tidak pusing, aspek gengsi tentunya sangat jarang kesempatan ini didapat, aspek pengalaman menjadi luar biasa, aspek bahasa akan nambah kaya belum lagi aspek karir yang tentunya lebih menjanjikan.


Jadi intinya suatu kebanggaan dan kebahagiaan jika putra-putri kita mampu meraih kesempatan belajar ke negeri orang melalui beasiswa. Tidak sedikit Negara-negara maju memberikan kesempatan pada putra-putri terbaik bangsa ini untuk melanjutkan studi ke Negara mereka dengan bea siswa belajar gratis ditambah biaya biaya hidup selama studi.


Peluang itu tidak mudah didapatkan. Semua dibayar dengan prestasi, pembuktiannya melalui lulus seleksi. Sistem seleksinya panjang dan berat sehingga yang berhasil hampir dipastikan putra-putri terbaik bangsa ini. Pilihan belajar ke luar negeri model ini tentunya dambaan siapapun sebab dirasakan sebagai apresiasi yang tidak ternilai dari prestasi sementara jika mereka kuliah di dalam negeri biaya selangit dan belum tentu orang tua sanggup membiayai. Hal ini sering dikeluhkan siswa-siswi berprestasi di negeri ini meski pemerintah sudah menunaikan amanat undang-undang dasar yang sudah diamandemen sehingga anggaran pendidikan mendapat alokasi minimal 20% dari APBN.


Informasi yang sering saya terima bahwa mereka yang dapat kesempatan belajar di luar negeri melalui program beasiswa rata-rata memiliki prestasi akademik yang membanggakan tidak jarang lulus dengan predikat sangat memuaskan, mereka umumnya menjadi mahasiswa yang ‘sangat diperhitungkan’ karena ‘keenceran’ otaknya. Tawaran bekerja di berbagai perusahaan yang membutuhkan di Negara tempat mereka belajar begitu deras dan tentunya dengan imbalan dolar yang menggiurkan jika dikonversi ke rupiah. Sebuah contoh sekitar 8th yang lalu salah seorang famili lulusan S1 Fisika UI dapat beasiswa ke Jepang. Setelah studinya di Jepang selesai saat ditanya kenapa nggak pulang dia ke Indonesia dia mengatakan kajian ilmunya belum dapat diterapkan di Indonesia kalau pulang perusahan mana ya yang bisa menggaji saya seperti saat ini sekalian saja saya mau nerusin S3. Di perusahaan tempat bekerjanya di Jepang waktu itu dia digaji sekitar Rp 50 jt sebulan dan bisa keliling dunia gratis. Jika dibandingkan dengan pendapatan seorang peneliti dengan predikat DR saja di negeri ini saat itu pendapatan Rp 10jt saja per bulan sudah bagus. Meski menyayangkan, tidak etis rasanya jika saya menganggap dia tidak memiliki nasionalisme, karena dia bilang ilmu yang dia pelajari belum dapat diterapkan di negeri kita.


Saat merenung sedikit saya baru sadar bahwa yang dia katakan benar adanya bayangkan 15 th yang lalu seorang teman bawa tape recorder dari Jepang (katanya dapat mulung) konon katanya dibuang karena pemilik sudah mengganti dengan barang dengan teknologi terbaru. Saya keluarkan kasetnya ternyata yang ada di dalam tempat kaset tape recorder itu model kaset yang berfungsi sebagai remot control di Indonesia waktu itu seingat saya belum ada, dan sekarang coba perhatikan lompatan teknologi tape recorder dan system audio visual. Jadi jangan sinis jika bapak BJ. Habibi lebih memilih Jerman ketimbang Indonesia dalam aspek implementasi ilmu, saya yakin dari aspek kecintaan tentunya berbeda. Saya Haqqul Yakin Bpk. BJ. Habibi 2000% cinta pada bangsa Indonesia bukan saja sama Ibu Ainun.


Jika kita mau sedikit merenung tentang bagai mana para pemimpin negeri ini berpikir untuk masa depan bangsa lama-lama kita jadi heran. Kalau dicermati berapa dana yang sudah di investasikan Negara untuk mendapatkan potensi putra-putri terbaik itu setiap tahun tentunya tidak sedikit. Lulusan SLTA tiap tahun tidak kurang dari 2.500.000 siswa. Jika tiap tahunnya ada 100 siswa terbaik dari hasil pendidikan kita artinya mereka itu mewakili 2.500.000 orang dari hasil pendidikan selama 14 Th mulai TK s/d SLTA. Siswa yang berprestasi itu ‘dibajak’ dengan belajar gratis di luar negeri lalu dengan tawaran gaji yang lumayan mereka di ikat untuk berkarya disana. Dengan kondisi itu coba renungkan apakah Negara ini diuntungkan ataukah rugi . Saya pikir jika 100 orang putra-putri terbaik itu meski digaji per bulan Rp 500jt di negeri orang belum sebanding dengan investasi yang sudah ditanam pemerintah untuk pendidikan buat mereka selama 14 th.


Jadi penting bagi pemimpin bangsa ini berpikir cerdas dalam megelola potensi bangsa ini agar tidak kalah strategi dengan bangsa lain. Tentunya dengan melakukan pemikiran yang utuh tentang mau dibawa kemana bangsa ini pada masa yang akan datang terkait dengan visi misi pendidikan, teknologi dan ilmu pengetahuan dikaitkan dengan strategi pembangunan Indonesia. Apakah kita akan menjadi Negara industri, Negara agrasis saja atau sekedar tempat bercokolnya industri bangsa lain karena buruh murah dan pengusaha kita hanya jadi broker terhadap produk asing karena memang jumlah penduduk kita menjadi pasar potensial bagi produk asing sementara potensi alam yang kita miliki ‘dijual atau digadaikan pada bangsa asing’ untuk membayar ‘ongkos demokrasi’ oleh para pemimpin yang memenangkan pertarungan politik.


Ada baiknya pemerintah menganalisa ulang strategi pendidikan bangsa ini secara utuh sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil di dunia pendidikan sinergis dengan kepentingan bangsa ini dalam jangka panjang. Jangan sampai dunia pendidikan hanya dijadikan sebagai alat untuk mengulur waktu menghabiskan usia peserta didik agar tidak terkesan nganggur.


Memang mendapatkan pendidikan tinggi hak setiap orang namun jika efektivitasnya tidak dipikirkan bukankah potensi pemborosannya sangat besar dari segi waktu dan dana, sementara potensi yang paling baik untuk melanjutkan menjadi ahli malah ‘dibajak’ oleh Negara maju. Strategi biaya tinggi di dunia pendidikan bagi mereka yang berprestasi itu sebenarnya tidak strategis bagi bangsa yang menginginkan kemajuan di kemudian hari. Dalam kasus beasiswa untuk melanjutkan study ke luar negeri bagi siswa yang potensial akan lebih menguntungkan jika pemerintah yang membiayai dengan syarat dan ketentuan berlaku, setelah selesai mereka diwajibkan pulang untuk berbakti pada Negara. Ketimbang keahlian mereka dimanfaatkan bangsa asing. Tentunya ada prasyarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu yaitu para pemimpin bangsa ini punya visi saat berebut untuk jadi pemimpin. Sehingga APBN itu memang efektif untuk membangun bangsa bukan dikorup untuk berbagai kepentingan. Demi kebaikan bangsa ini kedepan harus ada yang berpikir lebih strategis dan melakukan rekayasa demi tercapainya cita-cita kemerdekaan dalam UUD 45 itu.



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/15/bahaya-komersialisasi-pendidikan-609721.html

Bahaya Komersialisasi Pendidikan | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar