harga genset honda

Petruk dan Korupsi


Petruk dadi ratu, nyangga pincuk udut crutu (Petruk jadi raja, bawa makanan sambil merokok cerutu)


Ratu Suralaya, patuhe Narada (Raja Suralaya tetapi patuhnya kepada Narada)


Yen lungguh sikil jigang munggah meja (Kalau duduk bersilang kaki dan naik meja)


Cengengas cengenges, tambur kon nabuh dewa (Cengengesan sambil meminta Dewa menabuh tambur)



Dewa dewa bingung, petruk ngaji mumpung (Dewa-dewa bingung, Petruk menggunakan kesempatan)


Dipolne dipolne, nggone dadi jalwa tukung (Perannya sebagai pemimpin dimaksimalkan)


Mbendino mangan nganti wetenge mlembung (Setiap hari makan sampai perut buncit)



Dadi ra karuan, ilange tatanan (Menjadi tidak karuan, hilangnya tatanan)


Ukume kuasa, wekasan si bagong teka (Hukuman kekuasaan, akhurnya Bagong datang)


Si Petruk digeret, bali dadi menungso (Petruk diseret, kembali jadi manusia biasa)



(Dicuplik dari Petruk Dadi Ratu, www.tembang.com)


Banyaknya pejabat publik yang ditangkap KPK belakangan ini telah menegaskan bahwa korupsi di negeri ini sudah sangat kronis. Sepertinya tidak ada ruang bagi harapan publik mengenai integritas para pejabat publik yang ada saat ini, dari pemimpin daerah, menteri sampai para pemimpin lembaga tinggi negara. Penangkapan Ketua MK adalah contoh terpahit terakhir yang dapat menunjukkan tertutupnya harapan publik itu. Fenomena ini tentu membuat kita bertanya-tanya, apa yang salah dengan negeri ini? Mengapa era demokrasi justru memunculkan pemimpin-pemimpin yang inovatif dalam mengembangbiakkan praktik korupsi melalui penyalahgunaan kekuasaan publik? Apakah pejabat publik kita sudah buta nurani sehingga tidak bisa lagi mengenal dirinya yang telah bertransformasi sebagai pejabat yang harusnya mengedepankan pelayanan dan kepentingan publik?


Kepelayanan Publik


Dari kacamata budaya Jawa, banyaknya pemimpin korup dan gemar pamer kekayaan seperti sekarang ini dianggap sebagai fenomena “Petruk dadi ratu” atau Petruk jadi raja, seperti pada syair lagu di atas. Pemimpin-pemimpin yang korup itu tak ubahnya seperti Petruk, anak Semar yang memiliki peran sebagai pelayan, dan serta merta menjadi seorang raja. Setelah menjadi raja, Petruk kemudian lupa daratan dan berperilaku menyimpang karena menggunakan kesempatannya sebagai pemimpin untuk memaksimalkan manfaat alias aji mumpung. Alih-alih hidup bersahaja, Petruk justru menjadi hedonis dan lupa tugasnya menjadi pemimpin. Namun, pada akhirnya hukum kekuasaan bertindak dengan menyeret Petruk kembali kepada asalnya sebagai manusia biasa.


Syair yang tidak diketahui pengarangnya itu syarat dengan pesan moral mengenai kepemimpinan, yang sangat relevan untuk meneropong permasalahan kepemimpinan publik yang saat ini mendera bangsa ini. Pesan moral pertama, menjadi seorang pemimpin tidak boleh gagap. Kegagapan yang dimaksud di sini bukanlah seperti kegagapan Aziz dalam Opera van Java, melainkan kegagapan karena ketidakmampuan pemimpin dalam mengenali tugas-tugas kepemimpinan, yang esensinya adalah kepelayanan. Menjadi pemimpin publik bukanlah menjadi raja seperti gambaran Petruk melainkan menjadi pelayan masyarakat; dan hal ini berarti memiliki passion dalam mengentaskan persoalan mendasar bangsa. Pemimpin yang melayani akan membela masyarakat, terutama yang miskin. Prioritas pelayan masyarakat adalah mencari jalan keluar akan permasalahan yang dihadapi masyarakat kita dewasa ini, antara lain pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Pemimpin-pemimpin yang melayani tidak boleh gagap dalam menerima peran ini. Setiap orang yang hendak melamar menjadi pemimpin publik hendaknya tidak melihat kepemimpinan dari sisi romansanya, yang menitikberatkan pada dimensi emonsional dan status kepemimpinan seperti prestis, karisma, dan heroisme (Meindl, Erich, & Dukerich, 1985). Bila dimensi ini yang mendominasi pemahaman para calon pemimpin negeri ini, maka fenomena Petruk yang gagap dan gagal menangkap esensi kepelayanan publik tersebut sudah pasti akan menjadi kenyataan apabila mereka pada akhirnya terpilih jadi pejabat publik.


Kenegarawanan


Pesan moral kedua menyangkut kompatibilitas atau kecocokan seseorang untuk menjadi pemimpin. Pesan ini menggarisbawahi bahwa tidak semua orang cocok menjadi pejabat publik karena jabatan itu memiliki persyaratan khusus yang tidak semua orang dapat menguasainya. Modal utama seseorang untuk menjadi walikota, gubernur, anggota legislatif atau pemimpin lembaga negara lainnya seharusnya bukan terletak pada besarnya dukungan dana yang dimiliki, luasnya jaringan pertemanan, maupun kepiawaian untuk membentuk poros-poros politik dan kekuasaan, melainkan justru terletak pada sikap kenegarawanan (statemanship). Sikap ini ditandai dengan larutnya kepentingan pribadi dan kelompok ke dalam kepentingan masyarakat luas yang hendak dilayaninya. Secara normatif, seseorang yang terpilih sebagai pejabat publik, entah kepala daerah, presiden, ketua lembaga legislatif, ketua lembaga yudikatif dan ketua lembaga negara lainnya, harus mengutamakan nilai-nilai dan kebajikan publik. Setelah seseorang terpilih sebagai pejabat publik, seluruh agenda pribadi dan partai politik dalam kepala mereka harus segera digantikannya dengan kemaslahatan umat atau kepentingan bangsa yang lebih luas dalam perspektif jangka panjang. Mereka seharusnya tidak lagi berpikir jangka pendek mengenai kemenangan partainya dalam pemilu, melainkan mengenai keberlangsungan hidup bangsa dan negara pada masa yang akan datang. Mereka minimal harus memiliki orientasi untuk menyelamatkan bangsa dari kehancuran, dan, maksimal harus mampu mewujudkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang unggul, adil, dan sejahtera.


Pesan moral mengenai perlunya sikap kenegarawaran ini tergambar jelas dalam gagasan mengenai kepemimpinan institusional (Philip Selznick, 1957), yang kontras dengan karakter kepemimpinan Petruk. Gagasan ini menekankan peranan seorang pemimpin organisasi, baik privat maupun publik, untuk mewujudkan organisasi yang dipimpinnya menjadi sebuah institusi. Selznick membuat perbedaan antara organisasi dan institusi. Bila organisasi memiliki orientasi utama pada efisiensi dan pencapaian tujuan jangka pendek, institusi lebih pada pengejawantahan nilai-nilai publik dan pencapaian tujuan jangka panjang. Proses transformasi organisasi menjadi institusi akan terjadi apabila pemimpinnya tidak lagi menganggap dirinya sebagai manajer, melainkan negarawan. Dengan berjiwa kenegarawanan, seorang pemimpin institusi akan berupaya melandasi praktik kepemimpinannya dengan memasukkan dan memadukan nilai-nilai organisasional dan nilai-nilai sosial. Hal ini berarti bahwa misi yang diemban organisasi harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi harapan masyarakat di mana organisasi itu berada. Bila pemahaman ini dibawa pada konteks masyakarat kita, nilai-nilai yang diperjuangkan lembaga-lembaga publik, by design dan by practice, harus senada dengan harapan publik, misalnya yaitu kejujuran, keadilan, dan keberpihakan kepada masyarakat miskin.


Sejarah Kepelayanan dan Kepemimpinan


Lalu bagaimana memunculkan jiwa kepelayanan dan kenegarawanan yang dituntut untuk calon-calon pejabat publik? Pertanyaan ini akan mudah menggiring kita pada perbedabatan apakah pemimpin dilahirkan (born) atau dibuat (made)? Jawabannya, menurut saya, bukan keduanya, karena di alam demokrasi kita ini pemimpin publik merupakan hasil pilihan (elected). Dipilih dari mana? Ya, dari orang-orang yang telah memenuhi syarat sebagai calon-calon pemimpin, yaitu yang memiliki jiwa kepelayanan dan kenegarawanan. Jawaban ini didasarkan pada argumen bahwa pemimpin harus dipilih dari mereka yang jauh-jauh hari memang telah menyiapkan dirinya sebagai pemimpin publik yang sejati. Dengan kata lain, orang-orang yang layak diajukan sebagai calon pejabat publik adalah mereka yang memiliki sejarah kepelayanan dan kepemimpinan. Jadi, yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah sejarahnya. Alasannya adalah karena sejarah akan menujukkan passion yang sebenarnya dari calon pemimpin itu. Otentisitas jauh lebih penting dan menentukan daripada karbitan. Apabila pada masa lalu seseorang tidak memiliki sejarah keberpihakan kepada kaum lemah, bagaimana kita bisa berharap bahwa dia akan berpihak pada kaum lemah ketika menjadi kepala daerah? Apabila selama menjadi pegawai telah melakukan korupsi kecil-kecilan, apa yang akan terjadi bila dia menjadi pemimpin organisasi?


Dalam kaitan ini, kepemimpinan institusional juga menekankan pentingnya sejarah karena ia akan menjadi bagian yang akan membentuk karakter dan keunggulan organisasional. Karakter ini selanjutnya akan menentukan apakah keberadaan sebuah institusi akan mampu menjadi menjadi bagian dari proses transformasi sosial yang lebih baik. Fenomena terpilihnya Obama dan Jokowi menurut saya dapat menjadi contoh yang baik untuk menggambarkan pentingnya sejarah kepelayanan dan kepemimpinan seorang calon pejabat publik. Sebelum menjadi Presiden, Obama adalah seorang aktivis, dosen dan pengacara yang sukses. Setelah lulus kuliah Obama terlibat dalam berbagai aktivitas berbasis komunitas di Chicago. Dalam aktivitas-aktivitas itu watak kepemimpinan Obama terasah karena dia pernah berperan sebagai direktur, konsultan, dan instruktur. Dalam bidang politik, Obama menjadi sukarelawan dalam sebuah proyek untuk mengantarkan Carol Moseley Braun menjadi senator wanita kulit hitam pertama di Amerika Serikat pada tahun 1992. Keberhasilan ini kemudian mengantarkannya pada karir politik yang cemerlang setelah setahun kemudian Crain Chicago Business menobatkannya sebagai satu diantara 40 calon pemimpin yang usianya di bawah 40 tahun.


Sementara itu, sejarah Jokowi, yang kini dipersepsikan sebagai calon presiden Indonesia, dimulai ketika dia menjabat sebagai Walikota Surakarta. Keberhasilannya dalam memperoleh dukungan kurang lebih 90 persen suara masyarakat kota Solo dalam pemilihan walikota periode kedua menjadi modal baginya untuk pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun lalu. Berbeda dengan Obama yang berangkat dari kepiawaiannya sebagai aktivis, Jokowi lebih dikenal sebagai pemimpin yang sangat merakyat dan mengutamakan dialog dalam memecahkan permasalahan sosial. Keberhasilannya dalam memindah ratusan pedagang barang bekas di wilayah Banjarsari ke lokasi baru yang nyaris tanpa gejolak telah menjadi sebuah trademark kepemimpinan Jokowi sebagai pejabat publik. Pendekatan kemanusiaan ini tetap digunakan ketika memimpin Ibu Kota. Pendeknya, sejarah kepemimpinan Jokowi yang otentik menjadi bekal untuk menjadi pejabat publik yang baik.


Simpulan


Terlepas dari kronisnya masalah korupsi yang mendera bangsa kita saat ini, saya masih percaya bahwa sejarah Indonesia tidaklah sekelam bayangan kebanyakan orang yang memandang masa depan kita dengan pesimis. Satu hal yang menjadi pesan tulisan ini adalah jangan biarkan orang-orang seperti Petruk yang tidak memiliki sejarah kepelayanan dan kepemimpinan otentik menjadi pemimpin. Orang-orang yang tidak memiliki jiwa kenegarawanan yang dapat membawa lembaga yang dipimpinnya menjadi sebuah institusi yang terintegrasi dengan harapan kemajuan yang menjadi impian masyarakat sebaiknya tidak diberi tempat. Para calon pemimpin yang mengutamakan kebajikan publik, bukan kemenangan partai dan kekayaan pribadilah yang kemudian harus dipilih. Masih banyak orang-orang seperti Jokowi di negeri ini. Memang saat ini kita masih berharap untuk meramu cara yang tepat untuk menemukan dan memunculkan negarawan itu; dan hal ini sangat bergantung pada partai, sebagai representasi kepentingan publik. Himbauan yang logis tentu saja jangan pilih partai yang masih mengusung calon pemimpin, atau memiliki pemimpin seperti Petruk, melainkan partai yang telah menjadi institusi yang dipimpin oleh negarawaran, yang memiliki jiwa kepelayanan publik yang otentik dan memikirkan keberlangsungan hidup bangsa ini dalam perspektif jangka panjang.



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/19/petruk-dan-korupsi-610793.html

Petruk dan Korupsi | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar