PADA tanggal 12 Oktober 2013 kemarin, di The Domain, Royal Botanic Gardens, Sydney diselenggarakan acara “Singapore Day” oleh bangsa Singapore. Kegiatan semacam pesta di lapangan terbuka tersebut berisi acara-acara yang bakal menarik komunitas Singapore di Sydney. Ada basar makanan, hiburan, stall lapangan kerja di Singapore dan lain-lain. Kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah Singapore di bawah Overseas Singaporean Unit tersebut adalah kegiatan penting dan terbesar di luar negeri. Tujuan utamanya adalah mengiming-imingi warga negara Singapore yang ada di luar negeri untuk kembali ke tanah air menyumbangkan keahliannya buat bangsa.
Kegiatan serupa juga diadakan di Inggris, China dan Amerika Serikat. Kegiatan sejenis yang diadakan tahun 2012, di Amerika Serikat (Prospect Park, Brooklyn, New York) dikabarkan menelan beaya tidak sedikit, yakni sekitar S$4juta atau S$1 juta per kepala.
Kegiatan yang ditujukan khusus buat masyarakat Singapore tersebut tidak dipungut beaya bagi yang mau mencatatkan diri untuk hadir. Demikian semangatnya pemerintah Singapore untuk mengundang warga negaranya yang ada di luar negeri untuk hadir. Acara yang khusus diselenggarakan buat masyarakat Singapore tersebut sempat mengundang kontroversi buat masyarakat Australia, karena ada warga negara Australia berkulit putih dilarang masuk ke tempat acara.
Mereka protes bahwa pemerintah Singapore memakai tanah milik umum Australia, tapi orang Australia yang membayar pajak tidak dijinkan masuk. Apa hak mereka memakai tanah umum milik Australia secara eksklusive begitu? Pro dan kontra pun bersliweran dan sempat membuat banyak orang tersulut rasa nasionalismenya. Karena perlu diketahui bahwa masyarakat Australia terdiri dari aneka bangsa. Sikap pemerintah Singapore tersebut tidak membantu pemerintah Australia untuk menyuburkan kehidupan yang multikultural di Australia. Orang dari manapun asalnya harus mau menerima nilai multikultural yang ada di Australia.
Sikap pemerintah Singapore tersebut tidak sepenuhnya ditanggapi secara positif oleh warga negara Singapore sendiri. Beberapa pihak menyayangkan bahwa dana sebesar itu hanya untuk kegiatan yang tidak pasti membawa hasil. Lebih baik dana sebesar itu digunakan untuk membangun rumah sakit di Singapore atau hal lain yang lebih bermanfaat bagi warga negara Singapore sendiri. Masyarakat yang tinggal di luar negeri sendiri tidak ada pikiran untuk balik ke negaranya dalam waktu dekat. Mereka telah memperoleh kesempatan yang lebih menguntungkan di luar negeri dibanding di Singapore. Hidup mereka di luar negeri lebih nyaman dan lebih ringan ongkosnya dibanding hidup di Singapore. Jadi untuk kembali lagi ke Singapore kemungkinannya amat kecil. Dana yang digunakan oleh pemerintah Singapore untuk mengiming-imingi warga negaranya untuk pulang hanya dipandang sebagai pemborosan tidak perlu.
Kita sebagai bangsa Indonesia, sedikit banyak kita bakal terkejut dengan sikap warga negara Singapore yang menilai bahwa usaha pemerintah Singapore untuk membangkitkan rasa nasionalisme warganya yang tinggal di luar negeri dianggap sebagai sikap percuma dan pemborosan. Kita bakal mempertanyakan rasa nasionalisme mereka? Apakah mereka tak punya rasa cinta tanah air lagi setelah hidup di luar negeri yang jauh lebih nyaman daripada hidup di negaranya sendiri?
Pertanyaan yang tidak gampang dijawab. Betulkah rasa nasionalisme mereka telah terkikis? Apakah mereka tak lagi menghargai jasa para pahlawan nasional mereka?
Barangkali ketidak-mauan mereka untuk kembali ke Singapore hanya masalah perhitungan realistis dan tidak menyangkut rasa nasionalisme mereka. Toh, mereka menyarankan agar dana itu dibuat untuk hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat di Singapore? Jadi sedikit banyak mereka masih punya rasa nasionalisme dengan mempertimbangkan nilai kemanusiaan yang ada di negaranya sendiri. Mereka bisa punya tempat tinggal nyaman dengan tanah luas di Australia, jika dibanding hidup di Singapore dengan nilai uang setara mungkin hanya dapat flat. Jadi secara realistis, keputusan untuk tidak pulang amat masuk akal.
Bangsa Australia menghargai para pahlawan mereka dengan nilai beda. Para pahlawan bangsa Australia adalah mereka yang berjuang di negara lain dan bukan berjuang membebaskan bangsa sendiri dari penjajahan. Pahlawan orang Australia adalah mereka yang berjuang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang mereka yakini benar. Maka tentara yang gugur dalam perang di Turki atau Iran mereka anggap pahlawan. Meski mereka dikatakan kalah dalam berperang, tapi tetap dielu-elukan sebagai pahlawan. Kini pahlawan modern bangsa Australia adalah mereka-mereka yang memperjuangkan nilai kemanusiaan. Para sukarelawan pemadam kebakaran mereka anggap sebagai pahlawan.
Nilai Kepahlawanan di Indonesia
Kalau kita mau bersikap realistis, para pahlawan itu makin lama makin pudar diingatan generasi muda kita. Ingatan manusia amat terbatas. Entah untuk berapa tahun lagi ingatan pada pahlawan itu akan tertanam dalam pikiran generasi penerus bangsa Indonesia. Bagaimana kira-kira makna kepahlawanan bagi warga negara Indonesia pada tahun 2045 nanti? Pada saat generasi pejuang 45 sudah tidak tersisa lagi di bumi Indonesia?
Para pahlawan itu milik siapa sebenarnya? Apakah akan sama bagi tiap warga negara? Apakah para pahlawan itu ada hubungan kedekatan dengan kepribadiannya? Bagaimana dengan warga Indonesia yang hidup di pelosok? Bagaimana dengan warga negara yang hampir tidak pernah tersentuh dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah selama ini? Bagaimana dengan warga negara yang merasa cuek dengan pemerintah saat ini? Warga negara yang merasa kecewa atau merasa disakiti oleh pemerintahnya sendiri? Apakah makna kepahlawanan itu sama? Apakah makna kepahlawanan itu bebas nilai?
Bagaimana sebaiknya kita bisa memaknai kepahlawanan bangsa Indonesia? Mengkritik penggunaan bahasa Inggris, tidak bangga berbahasa Indonesia. Menyalahkan korupsi. Menyalahkan utang luar negeri. Mengumpat bangsa lain yang seenaknya mengambil milik Indonesia. Mengumpat sekeras-kerasnya bangsa lain yang melakukan penyadapan.
Konsep pahlawan seharusnya tidak lagi hanya mengacu pada pejuang kemerdekaan negara, tapi pada nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Bukannya tidak menghargai jasa para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa demi kemerdekaan bangsa, tapi memperluas makna dari kepahlawanan mereka. Membuat benang merah jasa kepahlawanan mereka dengan kekinian. Menyambung nilai-nilai kepahlawanan mereka dengan mengikuti perkembangan peradaban dan pemahaman akan realitas keterbatasan ingatan manusia. Cinta pada negara dan bangsa tidak hanya diwujudkan dengan tindakan-tindakan “demi kebaikan dan kemajuan” bangsa, tapi juga demi rasa kemanusiaan yang lebih luas dan mendasar.
Jika kita tidak memperluas nilai kepahlawanan mereka, maka nilai kepahlawanan tak lebih dari sikap melankolis dan heroisme yang makin tidak relevan dengan perkembangan keadaan. Generasi muda penerus bangsa makin kehilangan ikatan sejarah dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia. Heroisme mereka makin samar-samar terdengar gaungnya karena peradaban kini makin keras, kompetitif dan global. Patriotisme mereka bisa diterjemahkan secara melenceng karena tidak adanya ukuran pas tentang maknanya.
Bangsa kita tidak lagi memperjuangkan kemerdekaan, tapi kini lebih mengejar pada kemakmuran dan kemajuan bangsa. Musuh negara bukan lagi penjajah yang secara fisik menguasai tanah air, tapi sudah menjelma pada hal-hal yang lebih subtil dan tidak bisa ditangkap dengan jelas oleh mata yang tak terlatih untuk melihatnya.
Penjajah kini lebih ditentukan pada tingkat penguasaan teknologi, ekonomi, politik, pengelolaan sumber daya manusia, penguasaan ilmu pengetahuan, penciptaan inovasi terobosan dan lain-lain. Jika sebuah bangsa menguasai hal-hal tersebut, mau tidak mau bangsa lain akan berada pada pengaruh dan kekuasaannya. Maka pahlawan dalam konteks ini adalah orang-orang yang bisa mengeliminir pengaruh kekuasaan bangsa lain atas bangsa kita sendiri. Mereka-mereka yang merintis kemerdekaan bangsa kita dari ketergantungan pada bangsa lain dalam banyak hal dan memperjuangkan kebangsaan yang berdikari.
Barangkali itulah tujuan para pahlawan perjuangan yang sebenarnya. Jadi tidak hanya menjadi sebuah negara yang merdeka, tapi juga menjadi sebuah negara yang berdikari. Kemerdekaan tidak ada banyak manfaatnya jika masih tergantung pada negara lain. Sebuah kemerdekaan yang hanya pada lapis luar dan teknis.
Perjuangan para pahlawan adalah langkah awal agar tujuan untuk menciptakan bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri itu bisa lebih mungkin. Sebuah perjuangan dan pengorbanan yang amat realistis. Untuk itulah kita seharusnya tidak berhenti di situ, yakni mengenang heroisme perjuangan mereka merebut kemerdekaan. Ketika kemerdekaan telah berhasil direbut, tugas kita berikutnya adalah menerima tongkat estafet mereka. Meneruskan tujuan dasar mereka, yakni menciptakan bangsa yang mandiri dengan memanusiakan diri kita sendiri. Bagaimana menjadi sebuah bangsa yang bermartabat. Menghargai setiap warga negara dan menjamin setiap warga negara untuk meraih nilai kemanusiaan tertinggi mereka. Bebas dari penindasan, rasa takut, keterkekangan hak dan kemerdekaan pilihan atas nasib sendiri.
Memaknai hari kepahlawanan saat ini adalah dengan menghargai setiap warga negara Indonesia yang memperjuangkan kebersamaan hak, mendukung setiap jerih payah warga yang menunjukkan sikap dalam perjuangannya dalam memanusiakan manusia lainnya dalam banyak hal. Kepahlawanan tidak hanya ditunjukkan dengan rasa cinta tanah air, tapi juga bagaimana kita memandang manusia lain sesama warga negara sebagai individu yang merdeka dan bukan hanya sebagai obyek yang gampang kita pecundangi. Tidak ada artinya kita berkoar-koar mendengungkan cinta pada tanah air tapi melecehkan manusia lain sesama warga negara dan memperlakukan mereka sebagai warga negara kelas dua.
Misi dasar perjuangan para pahlawan kita adalah memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan bangsa Indonesia yang mandiri, bermartabat, saling menghargai, saling menghormati, hidup rukun, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dalam naungan NKRI. Membebaskan diri dari penjajah hanyalah awal dari perjuangan mereka untuk mencapai tujuan dasar mereka. Tujuan yang lebih luas dan berjangka panjang yang tidak gampang diperoleh tanpa partisipasi kita semua, yakni memanusiakan manusia Indonesia agar bermartabat sebagai bangsa.
Bagaimana kita bisa bilang bahwa kita menghargai jasa pahlawan kita pada saat kita masih mendapati banyak anak-anak kesulitan mendapatkan pendidikan dasar mereka? Banyak guru di tempat-tempat terpencil cuma bergaji seratus ribu sebulan? Banyak masyarakat yang hidup untuk mencari makan saja susah? Menghargai jasa pahlawan tidak cukup hanya mengumpat orang-orang yang tidak bisa lancar menyanyikan lagu kebangsaan atau orang-orang yang tidak memakai bahasa Indonesia dalam pidatonya. Menghargai jasa pahlawan harus diterjemahkan lebih luas yakni, menghargai sesama manusia, sesama warga Indonesia, menghargai mereka agar mereka bisa berkembang setinggi mungkin sebagai manusia seutuhnya. Sebagai manusia yang bermartabat sehingga bisa menggali potensi mereka seluas-luasnya.*** (HBS)
0 komentar:
Posting Komentar