harga genset honda

Menakar Kepantasan Capres (Twitter) Farhat Abbas


1385134232228644024


Dibandingkan dengan Jokowi, Prabowo, Wiranto, dan beberapa capres lain. Nama Farhat cenderung jarang masuk ke dalam pusara kritik. Begitu pun halnya dalam lingkaran survey banyak lembaga survey independen, nama capres sumpah pocong ini amat jarang muncul.



Presiden atau yang merupakan metamorfosa dari praesidere (duduk di depan/mengetuai), menjadi praesidens (orang yang memimpin atau mengetahui sesuatu) yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi kata president atau kepala pemerintahan. Kepala, ketua, pemimpin atau raja melekat dengan “jubah” keistimewaan. Istimewa dalam hal moralitas, kenegaraan, tingkat intelegensia, etika dan juga beraneka keistimewaan kepemimpinan yang lain. Dalam sejarah Indonesia (bahkan Internasional) siapa tak kenal Sukarno, Fidel Castro, Jawaharlal Nehru. Mereka adalah tokoh, negarawan, dan pemimpin dengan kharisma dan keistimewaan yang diakui dan teruji. Terlepas dari sisi kelemahan sebagai manusia, politisasi sejarah semua manusia pasti mempunyai kekurangan dan cacat atau cela. Saya mengagumi sisi kecendekiawanan Habibie, intelektualitas SBY sebagai lulusan terbaik Akmil yang pernah mengemukakan ide pentingnya kekuatan militer udara di masa depan. Yang ternyata pemikiran cemerlangnya kini terbukti sudah. Dalam berbagai sisi pastilah dapat ditemukan aura istimewa yang menjadikan seseorang dipilih atau dijadikan tokoh penting yang mengetuai sebuah negara atau merajai sebuah kerajaan. Entah itu intelektualitasnya, keturunan, aspek religius, kepemimpinan, dan lain-lainnya.



Sontak saya kaget, pertama mendengar aksi nekad Farhat Abbas, seorang pengacara muda yang mendeklarasikan diri menjadi capres. Subyektifitas saya pribadi, saya cenderung mengidealkan pilihan saya pada orang-orang yang saya hormati atau saya tuakan dan teladani, misalnya ulama (alm) Gus Dur , tokoh bangsa (Pak JK, Wiranto, Prabowo), atau tokoh yang kontroversial karena prestasi misalnya Jokowi. Saya pun mengamati dan berusaha mengubah subyektifitas saya terhadap Farhat Abbas dengan mengikuti berita-beritanya, menjadi followernya di twitter, termasuk menonton aksi lucunya di Mata Najwa, sebuah talk show di Metro TV beberapa waktu silam.



Pria kelahiran Tembilahan, Indragiri Hilir, Riau ini juga merupakan kandidat capres yang selalu mengisi menit demi menitnya dengan kicauan khas di twitter. Berkicau dengan ribuan followernya tentang masalah-masalah yang menurut saya tidak ada sangkut pautnya dengan masalah mendasar yang sedang dihadapi bangsa. Bahkan banyak kicauan beliau yang justru vulgar dengan unsur SARA, sarkasme, menyerang orang lain, dan bukan kicauan yang menyejukkan hati rakyat.



Farhat Abbas adalah kandidat capres yang lekat dengan sensasi melalui pernyataan kontroversi. Dibanding capres lain, Farhat Abbas adalah tokoh yang paling sering berkonfrontasi dengan banyak orang seperti misalnya tindakan-tindakan nylenehnya yang berujung konfrontasi dengan tokoh muda video asusila (Trio Luna Maya, Cut Tari dan Ariel NOAH) kemudian dengan Deddy Cobuzier, Roy Suryo, Coboy Junior (tokoh anak-anak/remaja), dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang berakibat Farhat sampai dipolisikan oleh Anton Medan, terakhir berseteru dengan putra Ahmad Dhani yakni Al dan El (tokoh anak/remaja). Ini mungkin satu-satunya fenomena nyeleneh seorang kandidat capres yang mempertontonkan adegan seru, ditantang duel oleh Al dan El yang dalam penilaian saya masih “anak-anak”



Farhat Abbas juga gagal (bahkan kalah telak) dalam pemilihan kepala daerah di Kolaka. Kawan saya menyebutnya kegagalan ini baru “foreplay”. Entah apa maksudnya, mungkin foreplay menuju kekalahan yang lebih telak di Pilpres atau apa maknanya saya tidak tahu (hanya dia dan Tuhan yang tahu). Yang jelas Farhat menerima kekalahan ini dengan mengkambinghitamkan politik uang. Farhat juga tercatat pernah menjadi caleg Partai Karya Peduli Bangsa (caleg, belum sampai menjadi anggota legislatif). Kelak jika Farhat Abbas kalah dalam pilpres dengan perolehan suara (misalnya) 1% boleh jadi dianggapnya 99% masyarakat doyan money politic.



Demikian mudah-mudahan masyarakat cerdas Indonesia dapat menimbang-nimbang. Apakah banyolan-banyolan dan kekonyolan tingkah laku yang penuh kontroversi dapat mendudukkan seseorang menjadi seorang yang mengetuai, menjadi pemimpin, raja sekaligus imam bagi bangsa ini? Tentu kita sependapat negara ini bukan republik mimpi atau republik twitter, yang hanya dibangun berdasarkan azaz kicauan. Saya sendiri meyakini bahwa menyelesaikan persoalan bangsa ini tidak cukup dengan hanya bermodalkan sumpah pocong sebagai program andalan. Presiden adalah bapak bagi bangsa. Yang sepantasnya menguasai permasalahan bangsa sehingga mampu memenuhi ekspektasi rakyat yang amat luar biasa. Presiden adalah bapak bagi rakyatnya yang tata lakunya, tindak tanduk dan lisannya menjadi panutan bagi rakyat. Semoga hanya pemahaman saya yang keliru. Jika pun harus lahir seorang presiden bernama Farhat Abbas, semoga tercipta sejarah baru, yang mampu menekan Tony Abbot untuk meminta maaf pada Indonesia, Yang mampu duduk sejajar dan kembali mengukir sejarah baru, selayaknya Sukarno yang melegenda.


Semoga segera ada partai yang tertarik meminang Farhat Abbas menjadi Capres.



sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/11/22/menakar-kepantasan-capres-twitter-farhat-abbas-613311.html

Menakar Kepantasan Capres (Twitter) Farhat Abbas | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar