harga genset honda

Malu Aku Jadi Politikus


ADA wacana aneh bin ajaib. Yakni, muncul kosa kata baru: malu menjadi pilitikus (politisi, jamak). Itu, konon, disebabkan Akil Mochtar mantan orang politik yang menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi dan tertangkap KPK. Persisnya, ia (telah) menjadi tersangka penerima suap – perihal sengketa pilkada Gunung Mas dan Lebak, Banten.



Jika benar mereka malu menjadi politisi karena seperti tercoreng, mestinya disambut baik. Artinya, bahwa mereka benar-benar ingin menjadi politisi – mestinya membawa misi pencerahan bagi warga yang nunut suara kepada (pemimpin) yang terjun ke dunia politik. Sehingga warga mendapat kejelasan jalannya pilar demokrasi.


Memang, Akil bisa disebut kelewatan. Ia sudah lama melakukan hal memalukan itu. Lha, duit yang diblokir saja sudah mencapai seratusan miliar. Jelas, sulit untuk percaya bahwa uang sebanyak itu diperolehnya dari hasil menjadi pilitikus maupun Ketua MK. Setidaknya, sebagian warga telanjur kurang percaya dengan lembaga yang ditinggalkan Akil. Yakni, dengan mendobrak “jalannya persidangan” dan sampai kelewatan berdiri di atas meja – karena permohonan mereka ditolak oleh Hamdan Zoelva – pengganti Akil – dalam memimpin “sidang”.


Rangkaian ini, sungguh benar: memalukan bagi orang politik. Meski sebenarnya ada benang merah yang dibuat oleh mereka sendiri. “Kami sebagai politisi sangat malu dan kecewa,” kata orang Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsudin.


Harga mahal yang mesti dibayar, apakah rakyat jadi pesimis dengan yang namanya demokrasi? Termasuk yang melek politik, sebutlah mahasiswa. Sehingga Ketua DPD Irman Gusman pun gusar. Ia perlu menyemangati, bahwa mahasiswa tidak boleh pesimis. “Mahasiswa tak boleh apatis. Mahasiswa harus membangun kekuatan, memperluas jaringan, dan bergerak memerangi golput,” kata peserta penjaringan (konvensi) Capres Partai Demokrat.


Tersirat kiranya di situ. Ada kegalauan orang-orang yang mulai butuh “suara rakyat” yang kerap dipresentasikan sebagai ”suara Tuhan” dalam bermasyarakat di negara bukan kerajaan. Apalagi, Pemilu sudah di ambang pintu. Artinya, kegalauan yang mendadak? Memang tak mudah ditepiskan. Bahwa yang terjadi akhir-akhir ini sebagai buah yang mereka tanam. Kenapa juga menjadi “suara wakil rakyat” dinodai sendiri?


Jalin kelindan orang-orang politik dan kekuasaan yang mereka dapatkan, kian meruntuhkan bangunan yang memang di negeri ini masih “dasar”. Paling tidak demokrasi tidak dengan penuh polesan dan seolah-olah. Namun dijalankan dengan penuh amanah. Bahwa kepercayaan, sebuah keniscayaan. Bukan hanya seperti dalam dunia yang penuh hitung-hitungan untung-rugi. Dunia bisnis. Percayalah! ***













sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/11/19/-malu-aku-jadi-politikus--610774.html

Malu Aku Jadi Politikus | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar