Sebuah kejutan muncul dari data hasil survey WIN/Gallup International. Pada tahun 2012 lembaga ini telah menanyai lebih dari 50.000 orang di 40 negara dengan pertanyaan: apakah responden mengidentifikasi dirinya sebagai “religius”, “tidak religius”, atau “atheist”? Secara keseluruhan, hampir 13% dari responden mengidentifikasi dirinya sebagai atheis, prosentase ini dua kali lebih besar dibanding prosentase atheis di USA.
Satu yang lebih mengejutkan lagi dari data yang dipublish Win/Gallup adalah menyangkut data atheis di Saudi Arabia, di mana 5% responden di negara tersebut mengakui bahwa mereka atheis. Bukan jumlah yang besar, tapi lebih besar dibanding negara-negara lainnya. Misalnya, di Irak dan Afghanistan yang hanya terdapat kurang dari 1% dari responden yang menyebut diri mereka atheis.
Di Saudi Arabia, mengaku atheis secara terbuka adalah sebuah kejahatan dan dapat dihukum pidana. Belum lagi sanksi sosial yang siap menanti, misalnya disingkirkan atau dikucilkan dari keluarga, lingkungan, atau bahkan dipecat dari pekerjaan. Salah-salah hukuman mati siap menanti. Tak heran bila kehidupan atheis di Saudi masih ‘underground’ dan tertutup.
Seperti yang dilaporkan Washington Post sebelumnya yang menyebutkan bahwa media sosial memegang peranan penting dalam keatheisan mereka, baik sebagai alat pencerahan maupun sebagai alat berhubungan dengan sesama atheis. Beberapa keluarga kerajaan dari dinasti Saud juga ditengarai ada yang masuk perkumpulan atheis, ini diketahui saat mereka saling bertemu untuk ‘kopdar’.
Jika berbicara atheis di Jepang, Korea Selatan, atau Perancis tentunya bukan suatu hal yang luar biasa, tapi jika itu ada di Saudi Arabia, negara Islam dengan aliran yang sangat konservatif membuat hasil survey ini cukup menarik. Saudi Arabia adalah tempat lahirnya agama Islam, dan menjadi kiblat atau rujukan bagi umat Islam sedunia.
Mungkinkah dangan memudarnya Islam di Saudi Arabia akan berdampak pada memudarnya Islam di belahan dunia lainnya? Tentunya tidak bisa dipastikan, sebab ada kalimat ‘Arab bukan Islam dan Islam bukan Arab’. Islam lahir di Arab tapi bukan untuk Arab saja. Islam adalah Islam, bertahan atau tidaknya Islam tidak hanya ditentukan oleh Saudi Arabia, tapi umat Islam lainnya, termasuk yang ada di Indonesia.
Namun, jika trend atheisme di Saudi Arabia terus meningkat, di masa depan bisa jadi pelayan dan petugas haji yang melayani jemaah haji Indonesia adalah mereka yang tergolong atheis ini. Ya tentunya tidak masalah, asal mereka tetap menerapkan ‘layanan prima’, gak apa-apa bukan?
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar