Adalah Jonathan Pollard, warga Amerika keturunan Yahudi yang bekerja di AL Amerika, ditangkap oleh aparat keamanan dengan tuduhan melakukan kegiatan mata-mata untuk Israel pada tahun 1985. Kala itu, pemerintah AS, melalui Menteri Luar Negerinya, George Schultz, bereaksi keras. Sang Menlu segera menelepon Perdana Menteri Israel saat itu, Simon Pherez. Selain meminta penjelasan terkait hal itu, George Schultz juga menyampaikan protes keras. Entah apa isinya, tidak berselang lama, Israel segera menyampaikan permintaan maaf. (Lihat Cahyono-adi.blogspot.com).
“Memata-matai Amerika adalah sangat bertentangan dengan kebijakkan kami. Kegiatan seperti ini, sejauh yang telah terjadi, adalah salah, dan pemerintah Israel meminta maaf.” Demikian pernyataan Simon Peres yang disampaikan langsung terkait insiden penyadapan Pollard.
Kini, situasi yang sama harus dihadapi oleh pemerintah Indonesia. Senin, 18 November 2013, harian Guardian (Inggris) dan harian The Sidney Morning Herald (Australia) mengungkapkan adanya penyadapan yang dilakukan oleh Pemerintah Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan jajarannya.
Berita penyadapan itu merujuk kepada dokumen yang dilansir oleh mantan kontraktor Badan Intelejen AS, Edward Snowden. Menurut kedua harian tersebut, penyadapan itu tidak hanya berlaku terhadap SBY, tetapi juga terhadap Ibu Negara, Wakil Presiden, dan beberapa pejabat tinggi lainnya. (Lihat Vivanews.com).
Kegiatan memata-matai Pemerintah Indonesia bukan pertama kali terjadi. Pada tahun 2007, Indonesia pernah mengalami kasus yang sama. GBP Suka Arjawa, staff pengajar FISIP Universitas Udayana, dalam artikelnya “Pergeseran Objek Dalam Dunia Spionase Modern”, yang dimuat di media online, Balipost.com (8/11/2013) menulis tentang kasus tersebut. Dengan demikian, maka bukan kali pertama Indonesia kecolongan oleh kegiatan mata-mata berupa penyadapan yang dilakukan oleh pihak luar. Bahkan dalam rentang waktu medio yang sama, Pemerintah Indonesia juga dikabarkan telah disadap oleh AS.
Sayangnya, reaksi pemerintah Indonesia tidak sekeras negara lainnya. Jika dalam kasus Pollard, pemerintah AS melancarkan protes keras, maka, sebaliknya, Presiden SBY justru menunjukkan gelagat yang tidak wajar. Atas kegiatan mata-mata yang dilakukan oleh AS, SBY hanya mengeluarkan “nasihat” agar AS tidak mengulangi lagi perbuatannya di kemudian hari. Tidak ada sekedar tuntutan permintaan maaf, terlebih sanksi diplomatik.
Coba kita bandingkan dengan kasus Presiden Meksiko, Felipe Calderon, yang dimata-matai oleh AS semasa masih menjabat. Ia segera bereaksi keras dengan melancarkan protes sembari menyebutkan hal itu sebagai penghinaan terhadap negara, dan bukan lagi soal pribadi.
Untuk kabar penyadapan yang dilakukan Australia kali ini, kabar terakhir menyebutkan bahwa Duta Besar (Dubes) RI untuk Australia telah dipanggil pulang. Namun, apakah pemanggilan pulang tersebut cukup memberikan “efek jera”? Terlebih pemerintah Indonesia belum memanggil Dubes Australia untuk mengklarifikasi kabar penyadapan tersebut.
Seharusnya Pemerintah Indonesia, melalui SBY atau Menlu-nya, bisa bersikap lebih tegas. Amerika, yang nota bene, adalah “tuan” dari Israel pun geram dan bereaksi keras terhadap penyadapan yang dilakukan oleh “anaknya. Lalu, mengapa SBY belum melancarkan protes keras? Lebih jauhnya, bila perlu, mempertimbangkan untuk memutuskan sementara hubungan diplomatik kedua negara. Menimbang kasus ini bukan yang pertama kalinya.
Saat-saat seperti inilah saya teringat dengan kisah Mentor soal ketegasan Presiden Soekarno (mantan), yang dengan berani dan tegas mengucapkan, “Go To Hell With Your Aids”.
Gitu aja koq repot!
Salam pentungan.
Ditulis sebagai tanggapan atas kabar penyadapan Australia terhadap Pemerintah Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar