screenshoot iklan Gita Wirjawan di Kompasiana
Apa yang dijual sebuah iklan? CITRA! Ya, citra sebuah produk. Tak ada kecap nomor 2, semuanya kecap nomor 1. Apa saja yang tak bisa diklaim oleh sebuah iklan. Kulit yang gelap bisa jadi putih cerah hanya dalam hitungan minggu saja. Perabot perselen rumah tangga yang sudah kusam dan berkerak, bisa jadi cling hanya dalam sekejap. Motor yang melaju kencang saking kuatnya mampu merobohkan apa saja yang dilewatinya. Itulah iklan : LEBAY. Tapi sah-sah saja, namanya juga iklan. Soal percaya atau tidak, konsumenlah yang menilai dan membuktikan.
Nah, jelang 2014, dunia iklan makin penting, utamanya iklan politik. Kalau soal iklan media luar ruang dan media televisi, ARB jagonya. Sejak awal 2012, papan iklan bergambar ARB dengan senyum lebarnya sudah ditebar ke seluruh penjuru tanah air. Begitupun iklan TV, apalagi ditunjang dengan kepemilikan 2 stasiun TV. Makin tak terbataslah jumlah dan varian iklan, durasi dan frekwensi tayang iklannya. Lucunya, sekitar setahun lalu ada iklan ARB yang membawa-bawa hasil survey yang menempatkan ARB di posisi 3 besar Capres yang banyak dipilih publik. Sial bagi ARB, sejak Jokowi jadi Gubernur DKI, makin banyak saja lembaga survey yang mengumumkan hasil survey dengan menempatkan Jokowi di posisi teratas, sementara ARB makin tak jelas di posis mana, yang jelas jauh dari 3 besar. Sejak itu, iklan versi tersebut tak lagi ditayangkan. Sampai kemudian LSI membuat survey baru dengan mengeliminasi nama-nama Capres yang kerap mendominasi posisi teratas berbagai survey. Alhasil, kembali naiklah ARB ke posisi 3 besar.
Sepekan terakhir ini, satu lagi capres yang merajai iklan di jagad maya alias cyberworld-nya Indonesia : Gita Wirjawan. Awalnya hanya di situs jejaring sosial Facebook. Jika sedang membuka FB dari PC/laptop/netbook, perhatikan sisi sebelah kanan yang biasanya berseliweran iklan, dari iklan berniaga.com, iklan ibu rumahan yang mampu berpenghasilan 4 juta per bulan, sampai iklan berita infotaiment. Nah, belakangan ini, “iklan” Gita Wirjawan ikut meramaikan. Memang bukan iklan seperti tampilan iklan yang biasa kita temui, tapi “iklan” berkamuflase berita yang lebih mirip berita di tabloid wanita saja. Ada kisah masa kecil Gita, foto anak-anak Gita, hubungan Gita dengan si Fulanah, dll. Pokoknya serba Gita lah!
screenshoot iklan Gita di Facebook
Sabtu malam, penulis membuka situs Kompas.com. Jreng….jeng!!! Langsung disambut senyum Gita Wirjawan menutupi layar monitor laptop, setelah diclick “close” barulah terbaca laman berita yang penulis maksudkan. Pagi tadi, ternyata kejadian yang sama terulang saat membuka Kompasiana. Jreng….jeng!!! Lagi-lagi wajah Gita, harus click “skip” dulu baru bisa melihat laman Kompasiana dan antenglah Gita di sebelah kanan atas sambil terus tersenyum. Dari beberapa status facebook teman, penulis mendapati rasa kurang suka dari kebanyakan pengguna internet dengan maraknya iklan Gita. Kabarnya iklan itu ditebar di banyak situs. Kalau yang penulis tahu, iklan yang dipasang di sisi kanan facebook adalah “berita” dari Merdeka.com.
Tentu masyarakat tak menyalahkan media yang memuat iklan. Namanya juga media, nafasnya ditentukan oleh pemasukan dari iklan. Siapapun yang mau pasang iklan silakan saja, asal harganya cocok. Tapi, tepatkah pilihan seorang capres membombardir publik dengan iklan? Sebenarnya, kalau mau dicermati, saat ini sebetulnya BELUM ADA SEORANGPUN CALON PRESIDEN. Bagaimana bisa disebut Capres, kalau syarat menjadi Capres harus diusung oleh parpol atau gabungan parpol yang memenangi 20% suara hasil Pemilu Legislatif? Yang ada hanyalah personal atau orang yang mendeklarasikan dirinya menjadi calon Presiden. Itu sebabnya kalau ada yang risau dan menanyakan kenapa KPU dan Bawaslu tak “menyemprit” Capres yang sudah mencuri start kampanye. Lho, apanya yang mau “disemprit”?! Capres saja belum kok!
ARB mungkin bisa saja pede, sebab partainya, Golkar, boleh dibilang partai besar. Dalam wawancaranya dengan Metro TV Jumat malam lalu, ARB menyebut : “Pemilu 1999, Golkar nomor 2 (maksudnya ranking perolehan suara hasil Pemilu). Pemilu 2004, Golkar nomor 1. Pemilu 2009, Golkar nomor 2 lagi. Jadi tahun depan, yang belakangnya ‘4’, Golkar pasti nomor 1”. Sah-sah saja ARB percaya mitos pergiliran itu dan keberuntungan Golkar di “ekor 4”. Katakanlah Golkar perolehan suaranya tak mencapai 20%, mungkin tak terlalu banyak perlu tambahan suara parpol lain yang mau diajak berkoalisi jika ditawarkan kursi Wapres. Tapi Gita?! Punya parpol, tidak. Ikut Konvensi Capres Partai Demokrat, belum jelas hasilnya. Lalu, berapa banyak biaya iklan yang sudah terlanjur dihamburkan jika seandainya tak ada yang mengusung?
screenshoot iklan Gita di Kompasiana
Terlepas dari Gita Wirjawan ataukah ARB, atau juga Win-HT yang tak kalah gencar iklannya di jaringan TV milik MNC Grup atau iklan Prabowo setiap ada hari besar keagamaan, tampaknya para capres – setidaknya para politisi dan tokoh yang sudah mendeklarasikan dirinya menjadi calon Presiden – masih berpikir bahwa dengan iklan mereka bisa merebut hati masyarakat. Tampaknya, kita perlu kembali menengok pengakuan Rizal Marrangeng. Tahun 2008, Rizal Mallarangeng gencar mempromosikan dirinya di beberapa stasiun TV dengan lo “RM09” (mungkin maksudnya Rizal Mallarangeng for President 2009 – pen.). Iklan yang menggaungkan motto : If there is a will, there is a way (dimana ada kemauan, disitu ada jalan) itu kemudian dihentikan. Inilah pengakuan Rizal yang disampaikannya melalui media massa, yang masih bisa ditemukan di blog.detik RM09 .
“Sejak Juli kemarin saya telah menerapkan serangkaian metode kampanye untuk menggugah dan mencari dukungan masyarakat akan perlunya kandidat presiden dari generasi baru. Saya sudah mencoba meyakinkan publik bahwa anak-anak muda juga pantas untuk dipertimbangkan sebagai calon-calon pemimpin pada Pemilu 2009. Saya melakukannya dengan berbagai cara, dengan iklan di televisi nasional, dalam berbagai acara dialog di radio, tv, koran dan majalah, dalam pertemuan serta keterlibatan di berbagai forum diskusi di banyak penjuru tanah air, dengan penerbitan buku, serta dengan Facebook, Youtube, dan berbagai forum di Internet. … dst.”
Papan iklan Rizal Mallarangeng for President 2009 (foto : rm09.blogdetik.com)
“… Tetapi saya juga harus membaca dan menerima fakta-fakta. Dalam dunia politik, apalagi kalau sudah mulai mendapat panggung, kadang kita mulai gampang lupa diri, tak mudah untuk melihat cermin. Karena itulah, setelah mencoba beberapa bulan, saya menguji dan menilai apa yang telah saya lakukan dengan metode modern, yaitu dengan survei akademik. Saya memilih metode ini agar fakta-fakta yang sampai tidak hanya mencerminkan harapan saya semata, tetapi merefleksikan kenyataan yang sebenarnya. Ternyata, dalam dua kali survei nasional (yang terakhir minggu lalu), dukungan yang saya peroleh belum cukup untuk mencapai momentum yang saya inginkan. Setelah saya mencoba selama lebih 3 bulan, jarak dukungan yang mampu saya dapatkan masih sangat jauh tertinggal ketimbang dukungan kepada dua tokoh senior di papan teratas, yaitu SBY dan Megawati. Sudah ada pergerakan naik memang, terutama dalam soal popularitas atau kedikenalan. Namun dalam soal elektabilitas, angkanya masih sangat jauh, sedemikian rupa sehingga jalan yang ada terlalu terjal bagi saya untuk mengejar ke posisi yang cukup serius. Ditambah dengan pembatasan baru dalam undang-undang, yaitu persyaratan perolehan dukungan 25% suara nasional atau 20% kursi di DPR dari partai pendukung untuk dapat menjadi capres, maka hampir semua pintu sudah tertutup.”
“Berhadapan dengan kenyataan demikian, saya harus mengambil sikap: jalan terus, against all odds, atau mundur dengan baik. Saya memilih yang kedua dan bersikap realistis. Tidak mudah, memang. Tapi itulah kenyataan yang harus saya hargai. Karena itu, pada kesempatan ini, saya ingin mengumumkan secara resmi bahwa mulai besok, 20 November 2008, segala upaya kampanye akan saya hentikan dan kegiatan di Sekertariat RM09 Center, Jalan Yusuf Adiwinata 29, Menteng, tidak lagi berhubungan dengan urusan kampanye menuju Pemilu 2009.”
Versi iklan televisi RM09 (foto : rm09.blogdetik.com)
Itulah pengakuan Rizal yang tampaknya perlu dipelajari lagi oleh para “Capres” yang gencar beriklan. Iklan hanyalah alat untuk membuat suatu produk jadi dikenal publik. Tapi apakah akan dibeli dan dipakai oleh publik dalam jangka waktu lama, performa produk itu sendirilah yang akan menentukan ketahanannya di pasaran. Begitu pun dengan Capres.Gencar beriklan, terutama di TV yang punya daya jangkau luas, hanya membuat orang jadi lebih tahu sosoknya. Itupun dengan catatan berbaik sangka pada penonton televisi bahwa mereka tak akan memindahkan channel pada saat iklan. “Tahu” bukan berarti “kenal”. Pun juga “kenal” tak menjamin “disuka”. Meski “disuka” sekalipun, belum tentu “dipilih”. Rhoma Irama misalnya, siapa yang tak kenal dia sebagai raja dangdut sejak tahun ’70-an? Kalau bicara yang suka, fans Bang Haji ini luar biasa jumlahnya. Tapi apakah mereka akan memilih Rhoma Irama jadi Presiden 2014? Belum tentu! Mereka yang suka mungkin saja lebih suka kalau Bang Haji ini tetap jadi raja dangdut dan bukan Presiden RI. Urutannya : popularitas baru elektabilitas. Dan elektabilitas sejati adalah di bilik-bilik suara di TPS.
Ada banyak orang yang mengira bahwa dengan gencar beriklan dia akan bisa menempatkan dirinya di hati masyarakat. Padahal, masyarakat adalah sekelompok orang yang punya hati, pikiran dan perasaan. Mereka perlu disentuh langsung, bukan disuguhi foto ukuran 2×3 meter gambar sang tokoh sedang merangkul orang miskin atau sedang bercengkerama dengan petani. Tengok saja Jokowi yang datang dari Solo hanya dalam tempo singkat merebut hati warga DKI yang kompleks, heterogen, multi ras, multi etnis, multi suku dan agama. Blusukan langsung ke tempat-tempat yang perlu didatanginya. Hadir dan menyapa, menjabat tangan dan meladeni pertanyaan mereka.
Di Surabaya, ada ibu Tri Rismaharini, Walikota wanita ini beda dengan Rina Iriani, bupati Karanganyar Jawa Tengah atau Atut Chosiyah, gubernur Banten, yang selalu tampil dengan wajah kinclong, bedak dan riasan tebal serta dandanan matching. Bu Risma lebih sering tampil apa adanya bahkan kusut. Tak satupun spanduk/baliho apalagi papan iklan bergambar wajahnya terpampang di seantero Surabaya. Namun warga Surabaya merasakan betul kehadirannya, sentuhan tangannya pada keberadaan dan keindahan taman-taman kota di berbagai sudut kota Surabaya.
Tri Rismaharini, Walikota Surabayatanpa papan iklan (foto : www.tempo.co)
Warga bisa menemui beliau pagi-pagi usai Subuh ikut menyapu jalanan. Warga Surabaya mendengar kabar bukan soal beliau operasi plastik untuk mempercantik diri, namun justru kabar tangan beliau yang cedera karena ikut terlibat langsung dalam pemadaman kebakaran. Para Lurah dan Camat tak bisa tidur nyenyak saat Surabaya dilanda hujan lebat, sebab Bu Risma akan menelepon dan mengajak meninjau titik-titik genangan air pemicu banjir. Tadi pagi, ketika diwawancara langsung oleh reporter Metro TV di salah satu taman kota di Surabaya, Bu Risma mengatakan saat ini beliau sedang menjaring aspirasi, apa sih sarana dan fasilitas yang diinginkan warga Surabaya. Sehingga kelak taman-taman kota di Surabaya akan dipadukan dengan sarana olah raga sesuai dengan permintaan warga sekitar. Pun juga ketika beliau akan menutup lokalisasi pelacuran, beliau bertanya apa maunya warga sekitar, sebagai alternatif untuk berusaha mencari nafkah yang halal. Dari sana kemudian disupport sarana dan fasilitasnya.
Ada di dekat rakyat, bersama rakyat, mendengar keluhan rakyat, tahu problematika yang dihadapi rakyat dan melayani rakyat. Itulah “iklan” sebenarnya yang mampu membuat seorang tokoh bukan saja dikenal tapi sekaligus disuka, dipilih dan didukung. Jadi, bagi para “Calon merasa Presiden”, sebaiknya pertimbangkan lagi dana iklan di berbagai media, sudahkah cukup efektif? Jika belum, jangan melakukan kesalahan kedua dengan membayar lembaga survey untuk merilis hasil survey abal-abal yang menempatkan diri anda di posisi atas. Sebab, semua itu hanya akan membuat anda tertipu diri sendiri, ketika pilihan rakyat di TPS sama sekali bukan untuk anda. Selamat beriklan!
Raja iklan capres
0 komentar:
Posting Komentar