“Mungkin, kita tak pernah peduli pada politik. Tapi, yakinlah politik memperdulikan kita”
Dear Sahabatku Aisyah dan Khadijah…
Mungkin surat-suratku tak pernah sampai padamu, pun jika sampai mungkin kau tak punya waktu untuk membacanya. Tak mengapa, kesibukan-kesibukanmu dapat dimaklumi sebagai aktifitas yang prioritas untuk dilakukan dan tulisan-tulisan itu akan setia menunggu waktu jeda mu untuk menghampiri mereka.
Aisyah dan Khadijah…Beruntung sekali dapat mengenal kalian dengan nama-nama yang tak asing didengar, nama para istri Nabi kita. Sebagaimana orang tuamu memberimu nama, mungkin Beliau berharap dirimu secerdas Aisyah dan setangguh Khadijah. Terlepas dari itu semua, dari zaman ke zaman pun telah banyak bermunculan perempuan-perempuan hebat lainnya…salah duanya ya…kalian ini: Aisyah dan Khadijah. Sekali lagi, bangga dapat memastikan kalian bisa sehat sampai hari ini.
Mengenang kembali ceritamu saat itu, tentang masa sulit yang kau alami saat menginjak bangku sekolah. Seragam merah putih yang roknya sobek dibagian bawah, baju putih yang tak pernah disetrika dan malam hari kau meletakkannya dibawah bantal agar terlihat rapi esok harinya. Itu kau di tahun 1990-an lalu. Kita tak pernah memperdulikan itu, kita tetap saja mengisi bangku-bangku sekolah yang berbaris rapi. Dan puncaknya pada jam istirahat pertama, dimana kita mengisi waktu dengan bermain bekel, lompat tali atau bahkan jika uang saku masih tersisa maka es gelas seharga duapuluh lima rupiah menjadi pelepas dahaga: kita suka manisnya, karna kita tak mengerti berapa bungkus pemanis buatan dicampurkan kedalamnya. Dan itu tentu saja manis untuk kita kenang.
Beranjak dewasa, kita semaki jarang bersua, sampai suatu ketika kita kembali mengkisahkan Rahim kita telah terisi calon bayi. Kau rutin memeriksa kehamilan dengan diantar suami tercinta. Menikmati kahamilan dengan banyak asupan makanan bergizi. Saat itu aku pun bercerita padamu tentang seorang perempuan yang mengalami masa sulit kemailan di trimester pertamanya. Untuk memperoleh gizi yang cukup untuk bayi dalam kandungan Ia menggadaikan cincin kawinnya, dan menebusnya kembali setelah ia menerima upah menjadi buruh cuci pakaian tetangganya. “Itu perempuan” katamu “…merelakan segala yang dimilikinya untuk apa yang mereka sebut cinta bersemayan dalam jiwanya”. Dan aku bersyukur kita tak pernah melawati masa sulit itu sebagaimana yang dialami perempuan lain dalam ceritaku. Tapi cerita itu terus mengiang dalam benakku, sampai saat ini akupun telah menjadi seorang Ibu (Inaq) dari putra yang ku beri nama Masyail laudza Ahmadinejad (siNeja).
Ya bangga rasanya melahirkan secara normal, memiliki putra yang kini akan berusia enam tahun pada bulan Februari tahun depan. Dan pagi ini, aku mengajarkan padanya tentang hidup yang akan dijalaninya mungkin setelah ayah dan Ibunya telah tiada. Duduk di hadapannya sebagai perempuan yang melahirkannya dan bertanya “Tanpa sekolah, kau akan menjadi apa?” ia hanya diam. Karena Ia tau, aku sedang marah. Aku tak pernah memilih untuk melahirkan anak laki-laki atau perempuan, bagiku sama saja mereka harus tumbuh menajdi manusia yang peka.
Aisyah dan Khadijah…
Kisahmu yang kini ingin kudengarkan. Kesuksesan juga kegagalan yang hendak kau bagi untuk kita sama-sama belajar dari pengalaman. Pun dirimu yang kini telah menjadi Pegawai Negeri dan Khadijah yang sedang mengelola restoran. Tak perlu dalam kata-kata yang sulit dalam “bahasa pelayanan publik” ataupun bahasa Inggiris untuk menemuiku sebagai sorang turis. Aku tetap bangga menjadi sahabat kalian, berkata dalam bahasa Ibu, bahasa yang lebih universal yang kita fahami karna kita sama-sama Perempuan.
Serpihan kalimat pengantar di atas tentu saja berupaya meyakinkanmu yang tak percaya pada politik, prustasi pada siaran televisi yang banyak menyiarkan betapa banyak politisi ditangkap karena kasus korupsi. Menjadi semacam momok yang tak ingin kau nikmati bahkan untuk siaran berita di pagi hari, bahkan infotaiment yang kau gandrungi, akhir-akhir ini justru membuatmu muak pada kisah-kisah yang sama, pacaran, pernikahan, perselingkuhan dan bahkan terlalu banyak mengeksploitasi ketidak adilan “tau kisahnya Ayu Ting-Ting kan? Menyimak kisah-kisah artis yang terlibat menjadi saksi kasus korupsikan?” tanyamu meyakinkan… Dan lagi-lagi kita menghela nafas dalam, seolah-olah kita mengidap penyakit sesak nafas ringan.
Sistem terus bergerak tak peduli apakah kau peduli pada politik atau tidak, tapi politik tetap peduli padamu, keluargamu, tetanggamu, lingkunganmu menjadi satu system yang tak terpisah dari lingkup yang kita sebut sebagai Negara, untuk itulah politik peduli padamu, bahkan untuk profesimu, yang syarat dengan kebijakan-kebijakan yang telah, sedang dan akan diciptakan.
Mengakhiri suratku kali ini, dengan mengutip pertanyaan sorang teman yang ditulisnya dalam sebuah status di media sosial “Pastikan anda memiliki pilihan hidup. Apakah politisi, kontraktor, LSM, petani unggul dll. Kemudian lakukan upaya-upaya untuk menggapai kesuksesan yang didambakan. Hindari pilihan gandayang membuat pilihan yang sebenarnya tidak fokus”. Saya hanya belum menemukan benang merah untuk memastikan dari sekian banyak pilihan “untuk menjadi apa” pada akhirnya apapun profesi anda, system politik tetap berpengaruh pada itu semua. Kontraktor, LSM, Petani, Ibu Rumah Tangga: Politik berbicara tentang itu semua, dan dalam satu meja kita terus membincang tentang seberapa besar dampak politik mampu mensejahtrakan banyak orang. Dan hal yang pertama kali terngiang dari itu semua “Menjadi apapun, saya tetap Inaqn Neja”. Salam….
Mujur, 10 November 2013
0 komentar:
Posting Komentar