Menggayakan Indonesia dengan Berkebaya
Budaya adalah akal budi dan kebudayaan dapat berwujud karya seni. Sebagai homo sapiens atau manusia cerdas, setiap manusia dibekali akal pikiran. Hatta, sebuah istilah esensial “berbudaya”, yang berarti memiliki akal pikiran yang maju seyogyanya dikaitkan dengan Indonesia. Berbudaya Indonesia berarti memiliki akal pikiran yang maju untuk Indonesia. Sebagai manusia Indonesia, tidak dapat digubris lagi jika kita wajib berbudaya Indonesia.
Beralih kepada contoh budaya Indonesia yang sepatutnya dikenali lebih lanjut untuk kemudian dimajukan, yakni berkebaya. Kebaya adalah karya seni hasil pemikiran luhur asli Indonesia bagi wanita Indonesia. Berarti, berkebaya merupakan tradisi luhur yang semestinya bukan lagi dipertanyakan mengapa harus dilakukan ataupun dipertimbangkan keuntungannya. Sebab, dengan meluhurkan budaya Indonesia, dalam hal ini berkebaya adalah langkah konkret untuk memajukan Indonesia. Selain mempercantik wanita Indonesia, kebaya akan mempercantik pandangan dunia terhadap Indonesia secara menyeluruh.
Kebaya sempat dikaitkan dengan kekunoan. Momok tersebut kemudian memunculkan banyak pribadi hebat yang berjuang memodernkan kebaya. Alhasil, kebaya “modern” menjadi pilihan terkini masyarakat Indonesia masa kini. Dikatakan modern karena desainnya dapat membuat wanita Indonesia merasa lebih percaya diri dan nyaman saat mengenakannya. Jika dipertanyakan apakah upaya modernisasi kebaya berhasil mendongkrak jumlah pembeli dan pemakai kebaya, jawabannya adalah belum.
Faktanya, masih banyak anak negeri yang tidak berkesempatan setidaknya mengenakan kebaya dan berkebaya sekali saja, padahal menginginkannya. Ironis memang, di sisi lain banyak pula anak negeri yang mampu namun enggan membeli kebaya. Bagaimana mungkin jika harus mengenakannya? Kondisi inilah yang saat ini masih menjadi perhatian bersama.
Fenomena tersebut didalangi faktor selera konsumen dan musim. Selera masyarakat Indonesia yang berpenghasilan cukup masih relatif lebih tinggi terhadap pakaian modern, akan tetapi bukan kebaya melainkan kaos dan jeans. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan tidak mudahnya pembelian kebaya, karena harus dipesan di tukang jahit dan butik tertentu. Tampaknya, kebaya adalah “sesuatu” karena bernilai “wow” bagi masyarakat kelas bawah, “pas” bagi masyarakat kelas menengah, dan bahkan “murahan” bagi masyarakat kelas atas. Jelas bahwa tidak akan terjadi pemerataan budaya berkebaya dan masalah ini juga menjadi perhatian kita bersama.
Berdasarkan kondisi yang berkembang di masyarakat Indonesia, berkebaya hanya dijadikan representasi “Indonesia banget” di saat momen atau musim tertentu, misalnya acara wisuda, kondangan, Kartini-an, dan berbagai acara terpilih. Ini menandakan bahwa kebaya dijadikan seragam dan berkebaya adalah keharusan, bukan lagi wujud totalitas berbudaya Indonesia.
Berkebaya haruslah didasari niat baik, “Oh, saya ingin dunia melihat cantiknya Indonesia melalui kebaya yang saya kenakan” dan bukan “Ah, saya ingin tampak cantik di depan teman-teman.” Parahnya lagi, jika kebaya dijadikan ajang gengsi dan pamer berkedok narsisme. Cara pandang tersebut sudah menyimpang dari pengertian berbudaya Indonesia, yakni memajukan Indonesia.
Menjadi cita-cita bersama adalah bahwa berkebaya merupakan wujud berbudaya Indonesia yang secara tulus dan sadar diluhurkan kembali sehingga semua kalangan berkesempatan menggayakan Indonesia di kancah dunia. Adapun, tidak ada cita-cita yang terwujud tanpa usaha dan usaha itu tidak bisa dilakukan secara individu saja, melainkan bersama-sama secara kolektif dengan harapan penggerakan berkebaya mampu menjangkau semua kalangan. Kolektif berarti pemerintah sebagai agen monitoring dan pendukung bagi masyarakat usia muda sampai tua dalam upaya meluhurkan kembali budaya berkebaya.
0 komentar:
Posting Komentar