Maaf nih saudara-saudari sekalian, judul di atas sama sekali nggak bermaksud provokatif. Saya tuh cuma pengen tulisan saya diklik dibaca banyak orang. Jadi, kalau merasa tersesat, ada tanda X di pojok kanan atas, atau kalau yang pakai smartphone, silakan panah baliknya disentuh. Jangan lupa, sentuh dengan hati.
Ini pengalaman saya waktu tahun 2008. Entah ada angin apa, tiba-tiba saya dapat tawaran untuk join sebuah program di Pulau Nias. Iya, saya memang anak Pulai Anak Air–sebuah kelurahan di Bukittinggi–tapi Pulau dan Pulai kan beda atuh. Sesudah persoalan gamang atau tidak, akhirnya saya berangkat juga ke Nias, tepatnya di Desa Mudik, Kota Gunungsitoli. Pertama kali dan sampai sekarang masih satu-satunya kesempatan saya naik Garuda kelas Bisnis.
Ini jadi saya bilang kalau Nias itu tanahnya Kristen? Sebelumnya maaf kalau saya salah, tapi pernyataan itu saya kutip dari (alm) Bapak Kurniaman, orang Dinas Kesehatan yang saya dampingi sewaktu di Nias. Katanya, BNKP adalah mayoritas di tano niha. Saya sih seolah mendapat pembenaran ketika perjalanan Gusit ke Nisel, banyak gereja Kristen di kiri kanan jalan.
Nah, di Nias ini, saya serumah sama kru program yang semuanya muslim. Ada Barkah, Wardi, Yusuf, Mas Ozi, Mbak Widya, dan Mbak Jati. Jadi ceritanya, saya ini benar-benar minoritas dalam rumah itu. Kalau saya sih pede aja, wong di atas rumah saya di Pulai Anak Air sana ada toa mushala. Bapak saya ikut maku dinding waktu bangun mushala kompleks. Nggak ada alasan untuk tidak nyaman–dari sisi agama lho ya.
Yang terjadi kemudian adalah unik buat saya. Posisi tempat salat adalah di ruang televisi berada. Disitu adalah ruang tempat berkumpul seluruh isi rumah sepulang dari garap program. Nah, jadi ya saya melihat teman-teman serumah saya itu bergantian melakoni salat mereka, di waktu-waktu yang ditetapkan. Mereka adalah muslim-muslim taat, saya bisa menyimpulkan itu dari lima waktu yang mereka lakoni.
Ini Nias Bung, ketika berkeliling cari makan, yang banyak nongol itu kalau nggak Mie Babi, ya BPK (Babi Panggang Karo). Jadi teman-teman saya harus berhati-hati mencari makan, dan ujungnya adalah…
…warung Padang. Untung juga saya lahir di Bukittinggi, jadi dikasih nasi Padang malah senang bukan kepalang. Pas lagi maen ke Nisel, saya malah dapat diskon dari warung Padang gara-gara pas bayar nggaya pakai bahasa Minang.
Tapi dari seluruh kebersamaan di rumah itu, satu hal yang paling menyentuh adalah ketika di hari Minggu, kami berencana main ke Teluk Dalam, karena besoknya mau pulang ke Jogja. Sebelum berangkat, mereka nanya ke saya, “eh, kamu nggak ke gereja?”
Simpel sih ya. Tapi buat saya itu penghargaan besar dari orang-orang baik. Kebetulan, hari sebelumnya saya iseng main ke gereja dan kok ya dikasih tahu sama anak SD di situ kalau malamnya ada doa rosario. Dan ternyata habis rosario malah ada misa. Ya jodoh dong berarti. Setidaknya dalam minggu itu, saya sudah laporan sama Gusti.
Ini kisah yang bisa dibilang beda ekstrem ya. Ya, maksudnya bukan kayak saya dengan teman-teman yang Kristen, sama-sama ke gereja juga. Nyatanya penganut dua agama itu bisa baik-baik saja tinggal serumah, bahkan saling mendukung satu sama lain.
Pertanyaannya, kalau disana bisa…
Kenapa sih ada perayaan yang harus dipermasalahkan?
Kenapa sih ada pembangunan rumah ibadat–ber-IMB resmi–yang disabotase dengan digali jalannya supaya material nggak bisa diakses dan ketika IMB habis bangunan nggak kelar?
Kenapa sih ada umat tertentu yang harus beribadah di tempat yang nggak layak?
Kenapa sih ada sesama umat manusia yang dilarang tinggal karena dibilang ‘berbeda’?
Yah begitulah. Saya juga nggak ngerti. Ada yang bisa jawab?
Salam! :D
0 komentar:
Posting Komentar