harga genset honda

INDONESIA, IRONI BANGSA YANG KREATIF MENJADI PELAYAN


Untuk mengetahui karakter suatu bangsa, maka pertama-tama ketahuilah sistem bahasanya, nomenklatur-nomenklatur digunakan dari bahasanya, dan susunan bahasanya. Dari mempelajari hal itu, segera akan ketahuan karakteristik dan mentalitas seperti apa yang mengendap dalam kesadaran budaya suatu bangsa.


Marilah kita lihat bangsa Indonesia–sebetulnya lebih tepat disebut sebagai konfederasi berbagai bangsa. Bangsa Indonesia memiliki perbendaharaan kata yang cukup variatif untuk melukiskan fungsi dan posisi sebagai pelayan. Coba kita lihat daftar berikut:


· Pelayan


· Babu


· Anak buah


· Kaki tangan


· Cecunguk


· Jongos


· Kuli


· Centeng


· Budak


Masing-masing dari istilah tersebut memiliki aksentuasi dan penggunaannya yang khusus. Bagi pengguna bahasa Indonesia seperti kita, segera akan terasa apa yang dimaksud dengan istilah-istilah tersebut.


Pelayan misalnya, bermakna seorang yang melayani, tapi sifatnya fungsional, bukan berkonotasi kategori sosial. Seperti, pelayan restoran.


Lain halnya dengan babu, kuli, jongos, kaki tangan, centeng, apalagi budak, pada kata-kata itu mengandung pengertian yang lebih kompleks. Terdapat dalam masing-masing kata tersebut signifikansi sosiologis, ekonomis, politis dan kultural. Kuli misalnya, bermakna stratifikasi sosial dalam hal pekerjaan dengan arti kerja rendahan ber-upah rendah bahkan tidak diupah, hanya sesuai kebijakan si pengguna tenaganya. Demikian juga babu, pelayan di lingkungan rumah tangga, yang dipandang secara sosiologis amat rendah.


Tentu saja kata-kata tidak timbul dari ruang hampa. Ia muncul dan tersosialisasi seiiring dengan perkembangan kultural dan mental masyarakat pengguna bahasa itu. Karena itu, kata-kata tersebut menggambarkan kesadaran suatu masyarakat atau bangsa


Kerena menjadi karakterkomunal uatu bangsa, maka secara tak terelakkan seringkali karakter itu melekat pula pada setiap orang pada bangsa itu, betapapun terdidiknya orang tersebut. Itulah sebabnya, jangan heran bila seorang yang terlihat terpelajar, menyandang berbagai gelar akademis, baik didapat dari luar atau dari dalam negeri, bisa saja mentalitasnya tidak berbeda dnegan mentalitas umum dari bangsa tersebut.


Coba kita lihat bagaimana misalnya mentalitas budak melumuri para elit terhormat dari bangsa ini. Tidak usah kita bahas Presiden yang dengan suka cita dan malah bangga menyita waktunya di sela-sela kegiatan yang padat pada APEC di Bali yang lalu hanya untuk mempersembahkan surprise kepada Putin diiringi petikan gitarnya sendiri sambil menyanyikan lagu Happy Birthday. Catat pula bagaimana kita memperoleh dan menggunakan istilah mempersembahkan. Ini juga sama nafasnya dengan apa yang kita sebut sebagai bagian dari perbendaharaan kata-kata yang berasal dari mentalitas budak.


Menurut saya, cara memberikan surprise seperti itu kepada pemimpin bangsa lain tidak pada tempatnya dilakukan oleh seorang pemimpin suatu bangsa. Itu cukup dilakukan oleh orang lain yang bisa disuruh. Itu bukan cara menghormati dan mempererat hubungan emosional yang bersifat sederajat dan egaliter. Itu bahkan memperlihatkan mentalitas pelayan yang secara sosial tidak setara.


Hal yang sama terjadi pada berbagaif elit Indonesia. Kita tidak perlu mendaftarkannya di sini orang-orang seperti alm. Moediono atau Harmoko di masa lalu atau Syarif Hasan di masa sekarang. Coba lihat, untuk menarik simpati SBY, orang-orang seperti Dino Patti Djalal, Andi Malarangeng, bahkan Anas Urbaningrum, harus menyita waktunya untuk menaburkan puja-puji lewat buku-buku. Kalau tak percaya, silakan baca apa yang telah mereka tulis kepada SBY ketika sinar kekuasaan SBY lagi cerah-cerahnya. Entah kalau sekarang. Bagi saya, jelas hal itu menunjukkan mentalitas yang setali tiga uang dengan SBY persembahkan kepada Putin. Padahal kurang berapa gelar akademis yang mereka kumpulkan? Rupanya sekolah dan pendidikan yang tinggi sekalipun tidak otomatis mengubah mentalitas yang tertanam pada seseorang.


Mengherankan, banyak dari individu-individu di negeri ini begitu bangga jika dapat menjadi pelayan, babu, atau jongos dari orang lain. Dalam kata lain bangsa ini suka sekali mempertuankan orang lain ketimbang mempertuankan dirinya sendiri. Karena itu, tidak perlu heran bila penindasan, pemerasan, eksploitasi dan kolonialisme tidak kunjung lenyap dari nasib bangsa ini. Ketika menuliskan renungan ini, teringatlah saya dengan apa yang digalaukan oleh Tan Malaka hampir satu abad yang lalu tentang feodalisme dan kolonialisme yang menimpa nasib bangsa ini. Teringat pula apa yang dituturkan oleh Pramudya Ananta Toer tentang kaum bangsawan Indonesia: angkuh bukan main jika berhadapan dengan sesama pribumi apalagi cuma berhadapan dengan rakyat jelata, tapi mengkerut jika berhadapan dengan bangsa Eropa.




sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/21/indonesia-ironi-bangsa-yang-kreatif-menjadi-pelayan-609973.html

INDONESIA, IRONI BANGSA YANG KREATIF MENJADI PELAYAN | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar