Entah dari mana awalnya, sejak Gubernur Jokowi rajin berkunjung ke beberapa perkampungan pinggiran lagi kumuh di ibukota Jakarta, istilah blusukan semakin populer. Cukup intensnya media nasional memberitakan kegiatan tersebut, membuat publik terhipnotis dengan istilah blusukan yang terkesan langka bila dilakukan oleh pejabat sekelas Gubernur seperti Jokowi, apalagi sekelas presiden SBY.
Kegiatan blusukan di daerah sesungguhnya bukan hal yang langka. Menjelang musim pilkada, berbagai kandidat selalu ingin meraih simpati dan dukungan suara. Blusukan menjadi satu kegiatan yang dianggap menu wajib harian. Mengunjungi penduduk miskin yang rumahnya tak layak huni, panti asuhan reot yang dihuni puluhan anak yatim, perkampungan kumuh dan lain sebagainya.
Beberapa waktu lalu, media ramai memberitakan “blusukan” nya presiden SBY, yang konon meniru Jokowi, atau malah dibalik bahwa presiden Sby lebih dulu blusukan. Yang jelas, kosakata blusukan kian akrab sehingga telah dipakai dalam komunikasi politik elite kita. Terlebih menjelang Pemilu 2014, hampir seluruh caleg bahkan bakal capres sudah asyik blusukan.
Bagaimana kegiatan “blusukan” menjadi kurikulum politik. Bagaimana pula motif terdalam mereka yang melakukannya. Penting pula hasil-hasil yang ingin diraih, tentu menjadi bahan kajian menarik. Kita menjadi tahu dari iklan politik seperti di televisi, hampir semua calon pemimpin politik menggambarkan hasil kerja blusukannya.
Blusukan dari bahasa Jawa, yang kata dasarnya blusuk yang memiliki arti keluar-masuk ke suatu tempat yang dikonotasikan jarang dikunjungi. Blusuk merupakan kata kerja. Tambahan akhiran –an memberi penekanan bahwa ia merupakan bentuk kerja yang sengaja dilakukan untuk tujuan tertentu.
Blusukan sebenarnya lebih tepat jika dimaknai untuk melihat, mengenali, menganalisa sebuah tempat yang dihuni komunitas taruhlah suatu kampung, pasar atau tempat lainnya dengan cara yang tidak kentara atau sembunyi-sembunyi. Sebab, blusukan lebih berorientasi pada proses pengamatan dan penjiwaan lokasi yang dikunjungi tanpa harus diketahui orang-orang yang dituju.
Beda blusukan tentu beda kunjungan. Sebab, kunjungan lebih diwarnai kegiatan seremonial, gebyar atau setidaknya disertai sambutan dari orang-orang atau komunitas yang dikunjungi. Kunjungan selalu didahului dengan pengkondisian lokasi dengan tujuan agar apa yang diharapkan dapat terjawab atau terpenuhi.
Maka menjadi lazim apabila terjadi perubahan secara mendadak di sebuah lokasi apabila akan ada kunjungan pejabat, seperti jalan yang tiba-tiba diaspal, got yang dibersihkan, pohon-pohon yang baru ditanam, sampai dengan penyiapan orang-orang yang akan menyambut atau diwawancarai.
Pada masa Presiden Soeharto, masyarakat sangat akrab dengan kegiatan klompencapir yaitu sebuah acara temu wicara antara petani di suatu daerah bersama dengan Presiden yang berkuasa tidak kurang dari 32 tahun lamanya itu. Acara tersebut telah disetting dengan rapi mulai dari tempat, susunan acara sampai dengan siapa petani yang bakal ditanyai.
Yang pasti, lokasi tersebut bakal lebih makmur dari segi fasilitas karena biasanya akan dikondisikan lebih dahulu entah jalan, MCK dan lain sebagainya. Beberapa waktu kemudian, setelah masa reformasi, ternyata karakter pemimpin tidak banyak perubahan. Konon, tim kepresidenan saat ini pun juga melakukan hal serupa tatkala mengunjungi suatu daerah.
Beberapa pejabat daerah sekelas Bupati pun sekarang juga asyik ikut-ikutan melakukan kegiatan kunjungan ke pedesaan atau perkampungan. Di Kabupaten Bogor ada istilah boling atau rabu keliling, di Madiun ada istilah BST atau bakti sosial terpadu, di Jabar ada istilah Gubernur Saba Desa, dan masih banyak lagi kegiatan kunjungan lain.
Persoalannya, kegiatan kunjungan tersebut dimaknai layaknya kegiatan “blusukan”. Padahal konsentrasi mereka adalah membangun pencitraan semaksimal mungkin. Entah dengan berjabat tangan, berdialog, menebar senyum, membagikan sembako, paket hibah dan lain sebagainya. Yang jelas, kegiatan kunjungan tersebut diharapkan akan menguatkan pengakuan orang-orang dikunjungi, atau syukur-syukur terekspose di media massa.
Ya, salah praktek kunjungan jadi blusukan kin telah jadi trend. Kenyataaanya para pejabat kita tidak bisa meninggalkan atribut elitisnya ketika berkunjung. Mereka tetap membawa protokoler, tetap memakai uang yang tidak sedikit. Bahkan, kadang uang negara dengan kedok umumnya adalah pemberian bansos= bantuan sosial.
Ada baiknya, para elite kita memaknai ulang istilah blusukan. Jika meniru gaya Umar bin Khatab, seorang khalifah besar, yang dimaksud blusukan adalah tatkala malam gelap ia gunakan untuk mengetahui keadaan masyarakat yang dipimpinnya, dengan cara menyamar sehingga ia mengetahui seorang ibu yang memasak batu hanya untuk membohongi anaknya yang terus menangis kelaparan.
Ketika Umar keadaan ibu itu, seketika itu juga ia pergi ke gudang penyimpanan logistik dan ia angkat sendiri di tengah malam tanpa ada orang tahu, dan ia berikan kepada ibu itu tanpa pernah sang ibu mengetahui bahwa orang yang mengantar bahan makanan itu adalah khalifah yang dicacinya karena tak dianggap tak peduli.
Semoga blusukan pemimpin negeri ini bukan seremonial. Apalagi hanya tipuan kamera untuk memikat konstituen. Masyarakat bawah di negeri ini sudah capek dipermainkan. Bahkan, kepercayaan tulusnya sering terkhianati. Jika pemimpin berniat blusukan, tak perlu umbar pesona, apalagi tebar pesona di media. Sebab, rakyat butuh jawaban nyata atas persoalan yang dihadapi.
Ali Yasin Att
Peneliti Perubahan Sosial
Di Akira-Foundation
0 komentar:
Posting Komentar