Susah juga tinggal di rumah warisan. Kakek kita dulu suka bersenang-senang. Menghambur-hamburkan uang. Anak cucu jadi korban. Jangankan kenyang. Makan pun tidak. Putra putrinya berebut warisan. Padahal pernah saudara saudari seperjuangan kakek yang menegur malah berakhir di balik jeruji. Kecuali sahabat kakek yang berkacamata. Itupun harus menderita karena dibatasi ruang geraknya. Ketika murka alam tiba, rumah warisan kita ini nyaris porak poranda.
Sang putra yang hilang tiba-tiba muncul dan kemudian sibuk kesana kemari mencari hutang. Alhasil satu persatu yang ada di sekitar rumah kita harus digadaikan. Para tetangga sibuk berdatangan bukan untuk bersilaturami. Melainkan mencari-cari tahu apa saja milik kita yang berharga. Apapun sebisa mungkin digadai. Tetangga pun makin datang beramai-ramai.
Berbekal uang gadai, rumah kita diperbaiki. Makanan dibeli. Bahkan berlebih. Keturunan kita tidak lagi tidak makan. Bisa makan sepuas-puasnya malah. Asal tidak mengganggu kue kesayangannya saja. Waktu demi waktu berlalu. Sang putra sudah jadi bapak- bapak. Murah senyum adalah ciri khasnya. Tebar pesona dimana-mana. Tetangga pun senang. Ada tetangga yang susah dibantu. Ada tetangga yang bertengkar didamaikan. Rumah menjadi tempat yang tertib. Janganlah coba kita berisik bila tak mau terusik. Apalagi berbeda pendapat dengan sang Bapak. Bisa-bisa kita tidak lagi dianggap anak. Anak-anak beranjak dewasa. Gadaian pun semakin banyak. Hutang pun menggunung. Tetangga-tetangga berdatangan. Lagi-lagi bukan untuk bersilaturahmi tapi menagih hutang. Alam tak bisa dilawan. Badai pasti berlalu ujar sang Bapak. Benar saja sang Bapak pun ikut berlalu seiring surutnya badai.
Tetangga-tetangga kita yang dulunya terkesan baik mulai terlihat tabiat aslinya satu demi satu.
Rumah tetangga ini yang satu ini memang kecil. Tapi desain interiornya begitu mewah. Halamannya begitu bersih. Janganlah coba-coba nakal disana. Tertib sekali aturan rumah tangganya. Sayang jiwa tetangga ini sudah lama terganggu. Atau lebih tepatnya mengganggu. Sudah tak terhitung berapa anak-anak kita yang maling di rumah ditampung disana.
Beda tetangga tentu beda cerita. Ada juga tetangga kita yang rumahnya dulu bekas penjara. Wajar saja kalau status tanahnya bermasalah. Mengaku mantan maling tapi yang asli punya tanah tidak diakui. Tetangga yang berkulit putih ini pintar. Rajin belajar. Banyak anak-anak kita yang menuntut ilmu disana. Sepintar-pintarnya tetangga yang satu ini tetap aja masih tidak tahu diri. Adalah anak angkat kita yang dulu serumah yang dihasutnya. Alhasil sang anak angkat minggat dan malah menjadi tetangga kita yang baru.
Ada lagi tetangga kita yang lain. Karena anak-anak tetangga yang satu ini mirip dengan anak-anak kita yang ada di rumah, suka sekali mengaku serumpun. Anak-anak kita juga suka ke rumah tetangga ini. Ada yang direstui, ada juga yang sembunyi-sembunyi. Dasar tetangga yang sok serumpun ini pun tak tahu diri. Anak-anak kita sering disiksa. Selain itu barang-barang kepunyaan kita pun sering diklaim sebagai milik mereka.
Kakek memang pernah berbuat salah. Tidak ada manusia yang sempurna. Tapi ada satu cerita menarik tentang sang kakek. Kakek selalu berpesan kepada anak-cucunya supaya jangan bertetangga dengan kuli, apalagi menjadi kuli tetangga. “Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit”, ujarnya. Itu semua datang dari pengalaman sang kakek. Hidup dalam tanah sengketa tidaklah enak. Apalagi terkena diskriminasi. Kakek dulu berjuang bersama saudara saudarinya hingga masuk bui. Berjuang demi eksistensi demikian cerita kakek. Bukan narsis. Padahal kakek bisa saja hidup enak. Pendidikannya tinggi. Sekalipun di usia tuanya kakek berubah tapi prinsipnya soal eksistensi tidak pernah goyah. Jangalah coba-coba tetangga usil. Dulu tetangga yang rumahnya kecil itu mau dikencinginya. Tetangga yang serumpun bersembunyi di ketiak ibu angkatnya. Tetangga yang berkulit putih pun pucat.
Kenapa kakek berani seperti itu? Karena kakek tidak punya banyak hutang kepada tetangga-tetangga. Sehingga tetangga-tetangga tidak berani bergunjing.
Kalau sekarang tetangga berani-beraninya menguping bahkan sampai tidak mau minta maaf, itu berarti sepele benar sama kita. Sama sepelenya ketika tetangga serumpun seringkali mengklaim barang-barang kepunyaan kita miliknya. Begitu disepelekan malah bila tetangga yang kecil itu sedemikian beraninya melindungi anak-anak kita yang maling itu. Cobalah berkaca. Buruk rupa kenapa cermin yang harus dibelah. Andaikata anak-anak kita yang maling itu langsung ditangkapi akankah melarikan diri ke rumah tetangga? Apabila sekolah-sekolah di rumah kita sebagus di rumah tetangga, akankah sekolah disana? Jika kita memelihara dan merawat barang-barang kepunyaan kita dan mempromosikan ke semua tetangga bahwa semua itu memang milik kita, akankah tetangga berani mengklaim?
Inilah susahnya tinggal di rumah warisan. Manakala yang digadaikan dulu adalah harkat dan martabat untuk membenahi rumah maka jiwa yang sudah terjual membuat akal tidak lagi sehat. Jadi tidak heran bila sekarang ada penghuni rumah yang rajin bekerja tapi dicemburui. Bukannya malah dibantu malah dibiarkan sibuk sendiri. Ada yang masih remaja tapi sudah berniat jahat masih dianggap sebatas kenakalan remaja. Belakangan ini malah ada pembantu yang kerjanya cuma beriklan melulu malah dipuji-puji. Ada masalah super serius, kok bapak rumah tangga kita sempat-sempatnya eksis di media sosial lebih dulu.
Susahnya tinggal di rumah warisan sama susahnya menjawab pertanyaan seorang mba iroem, “ Kita yang sial atau mereka yang beruntung?”
0 komentar:
Posting Komentar