1999 dipertengahannya. Ketika Ambon tersekat ketat oleh garis keras iman, membelah teritorial dengan identitas Islam Kristen, yang bengis, haus darah, intoleran. Ketika tombak, panah, parang dan salawaku menjadi bahasanya. Ketika teror, jerit takut, kepanikan, amis darah, menyerbak terperangkap di udara, juga oleh asap…, dari kota yang terbakar. Saya terjebak.
Saya “Obed ” melakukan safari adrenalin. Ketika itu, tak lama setelah matahari tenggelam, saya naik Kapal Perintis tujuan Maluku Utara dari Pulau Seram -Maluku Tengah. Turun di Perairan Ambon, menaiki Speed Boat yang akan membawa saya ke Dermaga Pasar Waihaong. Dari situ perjalanan dilanjutkan dengan transportasi darat, singgah sebentar di Masjid Al-Fatah untuk menurunkan beberapa penumpang bersorban, melewati pemeriksaan rutin oleh laskar yang sedang berjaga. Dari masjid Al-Fatah perjalanan diteruskan langsung menuju Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon. Tiba, kira-kira 3-4 jam setelah matahari terbit.
Kantong-kantong teritorial “Acang ”, yang terlarang buat mereka yang bukan mereka. Bukan berani, nekat apalagi karena bodoh, tetapi hanya karena tidak punya pilihan. Hari itu KM Tetemalau tujuan Ambon-Surabaya akan sandar di pelabuhan Yos Sudarso, peluang langka untuk bisa kembali ke Jawa ketika itu.
Introgasi identitas bisa terjadi kapan dan dimanapun, bagi mereka yang tak berasal dari mereka. Akh…, seandainya Negara ini tidak perlu mencantumkan identitas keagamaanku di KTP, rekayasa politik identitas yang jahat. Pada dasarnya memang mereka dan siapapun tidak akan pernah mampu mencantumkannya di hatiku. Altar iman yang sesungguh, lepas dari semua sentimen identitas yang busuk, munafik, dangkal dan penuh penghianatan terhadap kemanusiaan yang adalah citra Tuhan.
Di tengah takut bingung dan keteguhan “tidak menyangkal iman” yang limbung, terjadi perkenalan dengan dua orang yang tidak disangka-sangka. Seorang mantri yang akan mengikuti pendidikan di Surabaya, seorang polisi berpakaian sipil yang mengambil cuti untuk pulang ke Bau-bau-Sulawesi Tenggara. Kami bertegur, dan begitu saja akrab sebagai kawan seperjalanan, karena bertujuan menaiki kapal yang sama dari Pulau Seram. Ditambah, interes pembicaraan yang sama: betapa mencekamnya Ambon ketika itu. Bahkan untuk seorang polisi sekalipun.
Identitas kegamaan menjadi topik yang ganjil untuk dipertanyakan, buat kami yang baru saling mengenal satu sama lain persis di hari itu. Saya, mantri dan si polisi hampir menjadi ‘kami’, sampai…,
Sampai meluncur sebuah cerita dari bibir pemilik warung tempat kami makan dan minum kopi di Pelabuhan Yos Sudarso. Tentang seorang Kristen yang baru saja di parang, dengan leher tergorok mayatnya dibuang begitu saja, ke tengah jalan, tak jauh dari tempat kami bersantap. Tak jelas benar apa tujuannya masuk Pelabuhan Yos Sudarso, yang jelas-jelas bukan teritorialnya. Tak ada yang bisa mencegah kesadisan di siang bolong itu, juga para aparat keparat, perpanjangan tangan si jahat, yang menjerat Ambon tetap berdarah.
Menjauh dari warung makan, menatap kami saling curiga. Menelanjangi daging, mengupas tulang, mengorek hati tempat keimanan itu bersemayam. Ditemukan, saya satu-satunya yang bukan ‘mereka’. Dalam diam, wajah-wajah tegang mengeras. Jelas terlintas, tuntasnya perkawanan. Sebuah kewajaran yang bisa saya hela, di tengah kota yang garang, mempertempurkan “kami” dan “mereka”. Saya yang bukan ‘mereka’ asal tak dibunuh…ah, sudahlah, sudah beruntung saya.
Si Polisi memecah keangkeran, “kita kumpulkan uang…, biar saya yang pergi membelikan tiket kapal”. Saya dan Si Mantri menunggu bisu, sampai kemudian terdengar helaan nafasnya yang berat, dan berkata “Seharusnya kami tahu kamu seorang Kristen dari awal, sehingga bisa mencegah kamu mengambil resiko sejauh ini”. Meringis kecut, tak ada jawaban yang lebih baik dari itu, yang bisa saya berikan kepadanya.
Si Polisi datang, membawa tiket, memberikannya kepada Si Mantri, lalu juga kepada saya, sambil berkata tenang, “Maaf namamu saya ganti waktu registrasi tiket: ‘Abdulah ’ ”. Cuma melongo, menjerit hati “persetan”. Bahkan, kami memang belum saling bertukar nama. “Jangan jauh-jauh dari kami, jika ada orang yang bertanya, bilang saja kamu adik ku” Si polisi menambahkan. “Juga jangan pernah berbicara terlalu lama dengan orang lain selama kita menunggu kapal tiba, sembunyikan identitasmu” kali ini Si Mantri yang membuka mulutnya.
Diam, saya tertunduk. Kami, masih berkawan rupanya. Identitas keagamaan tidak membelah ke-’kami’-an kami hari itu.
Atau memang perang gila diluar sana…, memang sama sekali bukan soal itu.
Pare, 7 Februari 2008
Me.
* Acang , plesetan nama Hasan, akronim yang menunjuk pada orang Islam
* Obed , plesetan nama Robert, akronim yang menunjuk pada orang Kristen
0 komentar:
Posting Komentar