harga genset honda

MENGGANTI BERAS ADALAH KEHARUSAN


Indonesia adalah negara agraris yang mempunyai daratan dan lahan pertanian yang sangat luas. Dari lahan pertanian yang ada di hasilkan sekian banyak sekali produk pertanian yang menjadi makannan pokok bagi masyarakat. Sebut saja padi/beras yang menjadi makanan pokok masyarakat Jawa, Sumatra, Kalimantan, jagung menjadi makanan pokok masyarakat Madura dan Sagu menjadi makanan pokok masyarakat Maluku dan Papua.



Tetapi pada saat ini di dalam masyarakat mengalami degradasi pilihan atas varian makanan pokok. Ada penyempitan pilihan pada makanan pokok dalam masyarakat. Seakan terbentuk anggapan bahwa makanan pokok masyarakat Indonesia hanyalah beras / nasi saja. Anggapan ini semakin menguat mendominasi dalam masyarakat kita. Orang belum menganggap sudah makan kalau belum makan nasi padahal dia telah memakan makanan yang mengandung karbohidrat seperti kandungan dalam beras.



Penguatan dominasi mainstream makanan pokok ini dimulai sejak adanya Revolusi Hijau pada masa rezim Orde Baru yang memang memprioritaskan pertanian cenderung berorientasi pada beras. Perlakuan yang dilakukan cenderung mengedepankan penggunaan asupan luar (kimiawi) demi menggenjot produktivitas produksi khususnya beras. Fokus pertanian semakin tertuju pada produksi beras. Muncul lah program-program instensisifikasi dan ekstensifikasi tanaman padi. Akibatnya muncul dominasi beras atas produk pertanian yang lainnya.



Ini mengakibatkan semakin terpinggirnya produk tanaman non beras yang mempunyai kandungan dan fungsi yang sama.



Hal itu juga menimbulkan kerentanan terhadap ketahanan pangan karena ketergantungan akan beras menjadi tinggi. Ketika tingkat kebutuhan dan permintaan akan beras tidak seimbang dengan produtivitas maka hal itu menimbulkan persoalan atas dari ketersediaan pangan. Ditambah dengan semakin menyempitnya lahan pertanian karena terdesak oleh industrialisasi kondisi itu semakin mengkhawatirkan. Sekarang sudah terbukti ketika negara kita sudah mulai mengimpor beras dan tidak lagi mampu berswasembada beras.



Kondisi itu semakin memprihatinkan dengan kurang adanya perhatian masyarakat maupun pemerintah terhadap varietas-varietas lokal yang sebenarnya tidak kalah berpotensi menjadi bahan pangan alternatif. Masyarakat masih lebih menyukai bahan-bahan pangan luar yang relatif lebih menguntungkan dari sisi ekonomi. Tanpa memperhatikn sisi-sisi yang lainnya.



Dan di negara kita yang kata orang adalah tanah surga telah tersedia banyak sekali bahan pokok lain yang dapat di kembangkan seperti seperti singkong, garut, gembili, kesuwek, dll yang mudah hidup dan di budidayakan.



Inilah yang melatar belakangi munculnya gerakan-gerakan dari masyarakat sipil untuk merevitalisasi bahan-bahan lokal untuk mengantisipasi krisis pangan dan memperkuat ketahanan pangan lokal untuk menuju kedaulatan pangan. Gerakan-gerakan untuk kembali mengenalkan kembali dan membudidayakan secara maksimal sudah dilakukan terutama di fasilitasi oleh organisasi non pemerintah (ORNOP/LSM ).



Maka kemudian mulai di kenalkan kembali kepada masyarakat bahan pangan lokal yang semula seakan di lupakan oleh masyarakat seperti garut, gembili, kesuwek, ketela, dll. Pengenalan kembali ini dilanjutkan pengembangan dengan diversifikasi bahan pangan lokal. Gerakan-gerakan ini sudah mulai kelihatan hasilnya dengan semakin banyaknya masyarakat yang mengembangkan tanaman-tanaman tersebut dalam skope yang relatif kecil.



Tidak jarang pula gerakan-gerakan revitalisasi bahan pangan alternatif non beras itu menemui kegagalan dalam pengembangannya di masyarakat. Seringkali kegagalan tersebut disebabkan adanya ketidakseimbangan misi yang di bawa dengan kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Masih terjadi gap pertentangan antara mengedepankan ideologi vs kesejahteraan masyarakat. Sering kali idealisme untuk pengembangan pangan alternatif terlalu di kedepankan dengan menafikan aspek ekonominya.



Tentu ini menjadi tantangan yang cukup berat bagi para pengusung gerakan ketahanan pangan untuk dapat menjembatani keseimbangan kedua aspek yang sama pentingnya. Perlu adanya tawaran solusi dimana adanya pilihan mengganti tanaman padi / beras ke produk non beras dengan margin added value yang cukup signifikan. Ini bisa menjadi pertimbangan bagi petani untuk bergeser dari beras pada produk non beras.



Cara-cara lain seperti mengadakan Festival Pangan Lokal Non Beras sering kali hanya berhenti pada acara-acara seremonial semata. Tidak ikuti dengan sebuah gerakan massif guna menyebaluaskan pentingnya produk pangan non beras bagi masyarakat. Tidak hanya keperluan penguatan ketahanan pangan tetapi jua menguntungkan dari sisi ekonomi dan kesehatan. Contohnya adalah garut yang diyakini dapat mengobati penyakit maag dan aman dari kandungan penyebab asam urat serta bernilai ekonomi cukup tinggi.



Aktivitas-aktivitas budidaya dan produksi yang dilakukan sebagai bagian dari gerakan ketahanan pangan juga masih pada produksi untuk makanan ringan (snack). Seperti garut yang dibuat tepung dan emping, ketela di buat mocaf dan aneka jajan pasar, dll. Produksi-produksi makanan demikian masih hanya berfungsi komplementer /pelengkap belum substitusi/ mengganti. Maka konsumsi akan nasi / beras masih saja tidak berkurang.



Menurut hemat penulis, minimal ada dua hal yang perlu dilakukan untuk mengurangi konsumsi beras demi ketahanan pangan kita.



Pertama , perlu adanya gerakan massif mengubah maindset dalam masyarakat tentang makanan pokok.



Anggapan bahwa makanan pokok hanya nasi / beras harus di ganti dengan banyaknya alternatif produk pangan non beras yang bisa menggantikan fungsi nasi / beras sebagai makanan pokok. Ini bisa dilakukan dengan adanya sosialisasi dan pengembangan pengolahan pasca panen bahan pangan non beras yang melibatkan masyarakat. Dan ini dilakukan secara terus menerus sampai ada hasil nyatanya dimasyarakat.



Tentu ini harus didukung oleh segenap pihak yang terkait baik pemerintah maupun masyarakat. Jika memungkinkan diikuti contoh / teladan oleh pemimpin daerah. Seperti yang dilakukan oleh Bupati Kulon Progo yang hampir setiap hari mengkonsumi tiwul ( makanan dari singkong) sebagai makanan pokok.



Kedua, adanya kebijakan nasional / lokal untuk memperkuat makanan pokok alternatif masyarakat di wilayah masing-masing atau mengurangi konsumsi beras.



Seperti kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Jawa Barat dengan gerakan one day no rice. Sayangnya kebijakan ini masih sangat spasial dan sporadis. Belum mampu menginspirasi daerah lain untuk melakukan hal serupa.



Atau memasukkan materi mata pelajaran pangan lokal dalam kurikulum pendidikan di sekolah sebagai kurikulum muatan lokal. Ini berguna untuk menanamkan pemahaman ketahanan pangan dari usia dini. Kabupaten Bantul, DIY adalah salah satu kabupaten yang sudah melakukannnya.



Tentu masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk mengurangi konsumsi akan beras. Itu di sesuaikan dengan kondisi dan lingkungan masing-masing daerah.



Maka mengganti makanan pokok dari beras dengan non beras adalah keniscayaan. Bahkan mungkin keharusan !



Kulon Progo, November 2013



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/22/mengganti-beras-adalah-keharusan-612054.html

MENGGANTI BERAS ADALAH KEHARUSAN | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar