Pukul 07.15 WITA menjelang pertengahan November 2013 rumah saya sudah kedatangan tamu dekat. Dia tetangga saya. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, dia menyodorkan sepucuk kartu seukuran kartu nama. Saya mengambilnya. Ternyata kartu kampanye dengan tampilan sosoknya. Nama calegnya anu, nomor sekian, partainya eceran, dan daerah pilihan Balikpapan. Mohon doa dan dukungannya.
Saya seorang GOLPUT, baik pilihan pribadi maupun paksaan pemerintah (di-GOLPUT-kan melalui Daftar Pemilih Tetap). Tetangga tidak tahu itu. Mungkin dikiranya saya masih seperti dulu : kurang wawasan, sempit pergaulan, jarang mengikuti berita politik (lebih suka berita olah raga), dan sibuk merawat kebun. Apalagi kini tetangga nyaleg, dukung-mendukung tetangga merupakan suatu usaha melestarikan budaya kerukunan bertetangga. Begitukah, dukung-mendukung dan doa-mendoa?
Saya melihat kembali kartu mungil itu. Ada fotonya dengan senyum mirip senyum Yudas Eskariot. Saya langsung terbayang foto-foto para perampok dalam format baliho-baliho di setiap sudut daerah. Luar biasa! Betapa bangga menjadi perampok dengan memajang fotonya besar-besar di ruang-ruang publik.
Ya, hari gini masih percaya pada politikus, partai politik, doa dan dukungan politik, dan segala omong kosong soal “berguna bagi nusa dan bangsa”? Bukankah berita terakhir mengabarkan betapa dahsyatnya penghianatan politikus beserta partai politik bahwa mantan wakil rakyat yang korup masih mendapat gaji pensiun dilengkapi dalil sekaligus dalih yang tidak lebih merupakan kongkalikong antarperampok yang dilegalisasikan?
Politikus ataukah caleg, bagi saya, tetaplah bajingan-asu-keparat-bangsat! Penghianat rakyat, perampok bersertifikat, dan martabatnya lebih rendah daripada seekor anjing kurap. Saya sangat marah pada setan-setan berkedok manusia bahkan menyebut diri wakil rakyat semacam itu.
Betapa setan-anjing kurapnya, sepucuk kartu kampanye mungil itu tertulis “Mohon Do’a & Dukungannya”! Apakah doa itu selalu kepada Tuhan, ketika setan-anjing kurap minta restu untuk menghianati rakyat, bangsa dan negara?
Sialan. Sarapan pagi saya ternyata bermenu umpatan gara-gara tetangga menyuguhkan sajian celeng. Ya, celeng, sama seperti babi ngepet. Doa itu, dibuatnya, menjadi lilin. Apakah saya akan menjaga lilin selama dia menjadi babi ngepet dan menggarong berangkas negara, yang notabene adalah uang rakyat? Babi hutan!
Ya, babi hutan! Babi hutan kudisan! Babi hutan kudisan berjiwa setan jahanam tetapi berkedok manusia dan berlabel “Calon Legislatif”. Mendadak saya melihat sepasukan setan mendekam dalam diri tetangga saya. Terkutuk!
Tapi dia tetangga saya. Masak sih saya bertetangga dengan setan, dan bisa rukun bertetangga?
Sebenarnya kerukunan itu hanyalah kesabaran, seperti halnya matahari yang memberi cahayanya kepada manusia dan juga kepada babi hutan kudisan. Matahari menjaga kerukunan alam semesta. Jadi, saya harus menjaganya kerukunan juga. Dan bulan, hanya menjadi puisi bagi para penyair.
Manusia pun dilarang semena-mena terhadap babi hutan kudisan, kata para pencinta alam dan penyayang binatang. Manusia dan binatang memiliki teritorial masing-masing, dan kehidupan masing-masing. Biarkan babi hutan kudisan hidup sesuai hakikatnya sebagai bagian dari makhluk penghuni bumi. Begitulah kira-kira.
Namun dia tidak tahu bahwasannya ada beberapa saudara saya ternyata juga babi hutan kudisan seperti dia. Saya tidak pernah mendukung apalagi memberi doa untuk saudara-saudara saya yang nyaleg alias nyeleng itu. Doa, yang kata orang, itu suci-murni, masak sih harus saya persembahkan kepada para babi hutan kudisan yang akan membaur dengan kawanannya?
Tetapi saudara saya, kan, juga begitu? Kalau begitu, saya bersaudarakan setan-kah? Ya. Bukankah setan, menurut kepercayaan saya, awalnya adalah malaikat, dan itu berarti malaikat dan setan sebenarnya masih bersaudara?
Malaikat pun diberi kebebasan; mau jadi malaikat atau setan. Ternyata sepertiga dari keseluruhan malaikat malah memilih jadi setan. Begitulah saya meyakini soal malaikat dan setan. Maka terkutuklah mereka sebagai setan!
Kebetulan saya bukanlah malaikat. Saya manusia biasa. Bukankah ada istilah “manusia biasa” dan “manusia terkutuk”? Begitulah. Manusia terkutuk belumlah tentu menyadari bahwa sejak semula ia terkutuk. Lebih terkutuk lagi ketika “manusia” begitu ngotot menjadi “terkutuk”. Begitulah kira-kira.
Kawan saya, yang begitu saya percayai dalam hal profesionalisme, pun menghianati saya melalui tindakan mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Di depan saya dia menjual janji, “Aku mau membuat perubahan.” Bah! Mau jadi pahlawan kok ya pamer? Biasanya, yang model begini, pasti akan menjadi anggota komplotan perampok. Tidak perlu mencurahkan liur untuk mendustai kenyataan! Saya sudah kenyang sejak Reformasi 1998 akhirnya hanya isapan lobang pantat babi hutan kudisan!
Biarpun kawan, tetangga bahkan saudara, saya tidak sudi ‘membeli’ janji-janji kampanye mereka. saya percaya bahwa uang tidak memiliki orang tua, saudara, tetangga, kawan, dan lain-lain. Uang adalah tujuan mereka berorasi soal politik dan kepartaian, apalagi gaji pensiun wakil rakyat bisa lebih dari dua puluh juta rupiah per bulan alias tidak bekerja pun mereka bisa menangguk makanan enak saban bulan. Dasar jiwanya babi kudisan, tidak akan pernah peduli nasib manusia lainnya (rakyat).
Apakah itu berarti saya sudah semena-mena menghakimi? Saya hanya manusia biasa, dan manusia biasa tidak pernah terlepas dari perilaku menghakimi, bahkan seorang rohaniwan pun suka menghakimi di mimbar-mimbar yang sakral, meski mereka berbusa-busa mengotbah bahwa Tuhan-lah yang akan menghakimi. Lantas, apa lagi jika rohaniwan pun merampok wewenang Tuhan? Masih mau percaya kepada wakil rakyat, meski tampil layaknya rohaniwan?
Tidak perlu banyak dalil dan dalih. Nyaleg dan ‘nyeleng’ (babi ngepet) adalah satu-kesatuan. Para babi ngepet memang berkedok manusia, dan biasa jika berkeliaran di sekitar manusia bahkan menjadi tetangga. Mereka sesungguhnya pencuri, perampok, pemalak, penodong, pencopet, dan segala pelaku kejahatan yang merugikan material sesama manusia. Liur dari congor politik mereka jauh di bawah mutu lendir yang menetes dari selangkangan lonte (lonte lanang alias gigolo, tidak terkecuali).
Bahasa saya kasar bahkan brutal ya? Ya, saya tidak percaya lagi pada diplomasi. Wakil rakyat menggunakan bahasa diplomasi kepada publik tetapi sejatinya mereka justru merampok publik melalui konstitusi dan aspek-aspek legalitas lainnya. Konspirasi komplotan perampok sudah tidak bisa saya kompromi. Mereka mengatasnamakan diri sebagai pengelola negara, justru merekalah yang membagi-bagikan harta negara-rakyat hanya untuk mereka. Reformasi 1998 justru telah menjadi jalan lempang bagi komplotan babi hutan kudisan-anjing kurap dan sejenisnya. Biadab bin laknat!
Apakah semua wakil rakyat begitu? Ya, semua! Dengan sistim demokrasi taik anjing, keputusan kejahatan selalu menjadi pilihan mayoritas. Buktinya? Itu, koruptor berjubah wakil rakyat masih mendapat gaji pensiun, yang artinya mereka bersepakat untuk melestarikan kejahatan. Lalu, negara menghidupi penjahat negara. Jelas ini kongkalikong paling menjijikkan, sama seperti seonggok taik babi di atas piring di meja makan, dan disuguhkan untuk sarapan pagi.
Kini bahkan kelak saya tidak sudi piring saya berisi seonggok taik babi. Terserah kalau Anda sudi menyantap taik babi yang disuguhi oleh wakil rakyat bahkan baru sebatas calon wakil rakyat. Saya bukanlah Anda; Anda bukanlah saya. Tetapi alangkah kejinya, sarapan pagi saya harus berhadapan dengan sepucuk taik babi yang disuguhkan tetangga!
*******
Balikpapan, 13 November 2013
0 komentar:
Posting Komentar