Lagi-lagi seorang preman Belitung berbuat ulah di Jakarta karena tidak bisa menjaga mulutnya. Kali ini dengan menyebut anak-anak sekolah yang terlibat tawuran sebagai “calon bajingan”. Dari sisi apapun ucapan semacam ini jelas tidak pantas dan jauh dari kepantasan.
Pertama, katakanlah si anak terlibat tawuran, apakah dengan demikian ketika dewasa yang bersangkutan pasti akan menjadi tukang berkelahi yang terlibat tawuran setiap hari atau misalnya memilih karir dengan bergabung dengan “gang preman”?
Tentu saja tidak, umumnya seorang anak yang belum dewasa pasti sedang mencari jati diri, dan apakah anak itu akan meneruskan perangai kasarnya pada tahap pencarian jati diri tersebut atau tidak sepenuhnya tergantung dari cara orang-orang dewasa di sekitaranya mendidik si anak. Orang dewasa di sini adalah orang tua, guru-guru di sekolah dan pemerintah.
Benar, pemerintah seperti gubernur dan wakil gubernur memiliki tanggung jawab tidak sedikit untuk mendidik anak-anak di wilayahnya. Dengan demikian seorang gubernur dan wakil gubernur yang tidka bisa mendidik anak dan justru mengeluarkannya dari sekolah tanpa kesempatan untuk berubah dan mendidiknya untuk berubah sebenarnya lebih bajingan daripada si anak yang masih “calon bajingan”, dan karena itu ketika si anak jadi bajingan, maka hal tersebut adalah sepenuhnya kesalahan pemerintah, dalam hal ini Jokowi dan Ahok yang gagal mendidik warga.
Kedua, tentu si anak tidak mungkin serta merta dan otomatis masuk sekolah dengan tujuan ikut tawuran. Dapat dipastikan ada penyebab atau conditio sine qua non untuk keterlibatannya dalam tawuran. Mungkin dia hanya ikut-ikutan atau dipaksa oleh seniornya yang mengobarkan semangat permusuhan melawan sekolah lain? Dalam hal ini maka kesalahan sepenuhnya ada pada sekolah yang gagal meminimalisir pengaruh-pengaruh senioritas dan gagal menyelesaikan permusuhan antar sekolah. Atau misalnya si anak menjadi nakal karena terhimpit persoalan ekonomi atau persoalan sosial lain sehingga menghabiskan energi dengan berbuat nakal seperti itu?
Ketiga, selain upaya reaktif setelah terjadinya tawuran, pemerintah juga wajib melakukan upaya preventif, misalnya dengan mendukung program-program ekstra kulikuler sekolah seperti olah raga, pramuka dan lain-lain, sehingga anak-anak sekolah menghabiskan energi mereka untuk hal positif dan tidak punya stamina untuk tawuran lagi. Adakah Jokowi Ahok melakukan hal ini? Jawabannya tidak. Mereka hanya membagi kartu ATM tanpa pertanggung jawaban yang bisa memicu kenakalan remaja.
Keempat, ada alasan mengapa pemerintah membentuk pengadilan anak sebagai upaya rehabilitasi dan pembinaan bagi anak yang melakukan perbuatan pidana, dengan tujuan memastikan si anak mendapat hukuman, akan tetapi hukuman tersebut tidak mematikan masa depan yang bersangkutan.
Dengan Ahok mencap si anak adalah bajingan di masa depan di media massa pula, maka sama artinya Ahok mematikan masa depan si anak sekali untuk selamanya.
Terakhir, darimana Ahok tahu anak yang ikut tawuran pasti jadi calon bajingan? Saya sendiri mengenal orang-orang yang ketika remaja sangat nakal, akan tetapi justru memiliki karir yang baik dan tidak menjadi bajingan seperti sumpah serapah si Ahok.
0 komentar:
Posting Komentar