Orang bilang menjadi presiden enak. Gaji cukup, fasilitas lengkap. Kemana-mana dikawal, disambut, dan banyak orang di sekitar. Ia punya wewenang dan kekuasaan. Sebagai kepala negara, presiden punya rakyat, sebagai kepala pemerintahan, ia punya perangkat dan aparat kerja yang siap setiap saat. Gampangnya; presiden tinggal punya mau, rencana, dan semua bisa terlaksana untuk kepentingan bangsa dan negara.
Mungkin itu yang membuat jabatan presiden diimpikan banyak orang. Bahkan sejak kecil, sebagian anak-anak kita kalau ditanya mau jadi apa nanti? “Presiden!” jawabnya. Senyaman itukah menjadi seorang Presiden?
Bagi Presiden SBY, gambaran di atas tak salah. Tapi tak semudah dan seenak yang dibayangkan. Memimpin sebuah bangsa yang besar dengan tingkat keragamannya yang luar biasa, membuat seorang presiden berpikir tidak hanya keras, tapi juga arif, tidak hanya logis, tapi juga inklusif. Sebagai orang nomor satu di Republik ini, dengan segala perangkat dan fasilitas yang diterimanya, tak serta merta membuat Presiden SBY bebas bergerak dan melangkah semaunya.
Pengalaman pertama yang dirasakan SBY sebagai presiden adalah rasa terkekang. Ada yang hilang dari kebiasaan yang dijalani dan dinikmati SBY. Salah satunya adalah kebebasan. Menjadi presiden membuat dirinya tak sebebas dulu lagi. Ia terikat oleh protokoler yang juga diatur oleh peraturan. “Apa dikira saya tidak kehilangan kebebasan?” ujar Presiden SBY di depan peserta acara silaturahmi dan halal bihalal, di Istana Cipanas, 4 Desember 2004.
SBY sangat kehilangan kebebasannya. Mungkin sepintas terkesan paradoks. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan punya kuasa dan wewenang yang sangat luas. Bahkan sosiolog sekaliber Max Weber menempatkan negara (dan presiden sebagai elemen terpenting di dalamnya) punya hak untuk memaksa, dengan kekerasan sekalipun. Inilah paradoks kekuasaan. Satu sisi ia berkuasa, di sisi lain ia harus tunduk pada aturan yang mengikatnya. Inilah takdir kekuasaan yang harus dijalani SBY dalam sistem demokrasi yang dipertaruhkannya. Rakyat sudah memilihnya untuk menjadi presiden dengan segala aturan mainnya. Ia harus menjadi teladan dalam hal ketaatan terhadap aturan. Dan SBY sangat komit dengan masalah ketaatan karena kecenderungan sebagian orang lebih mengedepankan kebebasan daripada kesediaan untuk taat.
Sewaktu masih bertugas sebagai perwira di Bandung, SBY bolak balik Jakarta-Bandung melewati Puncak, Bogor. Beliau bisa makan di mana tempat ia mau. Apalagi di sepanjang Puncak menawarkan banyak selera makan. Misalnya di rumah makan “Simpang Raya” atau “Rindu Alam” yang menjadi langganannya. Atau di pinggir jalan sambil minum kopi menikmati alam Puncak yang sejuk nan indah.
SBY suka jalan sambil menjajaki beragam kuliner di waktu senggang. Kalau di Bandung, SBY biasa ngopi di “Oh la la”. Di waktu lain, SBY menikmati jajanan khas di daerah yang dilaluinya. SBY menikmati betul kebebasan untuk berkreasi dan aktivitas santai yang bisa dilakukannya kapan dan dimana ia mau. Inilah yang hilang dan tak bisa lagi dinikmati sepenuhnya oleh SBY sejak terpilih sebagai orang nomor satu di Republik ini, 2004.
Tentu hal serupa tak hanya dirasakan SBY. Para pemimpin lain pun demikian. Sudah menjadi kaidah umum; semakin tinggi jabatan yang diembannya, semakin besar tanggung jawabnya, dan semakin banyak aturan yang harus dijalaninya. Ini merupakan kodrat kepemimpinan modern yang tak lepas dari aturan agar kekuasaan tak menyimpang dan tak melampaui batas alias korup. Karena kekuasaan, kata Lord Acton, tends to corrupt. Kekuasaan punya peluang besar untuk melampaui kodratnya. Karena itu, ia perlu batas dalam bentuk aturan tertulis atau sekadar fatsun yang dicipta publik.
“Sekarang tidak sebebas dulu,” ujar SBY saat silaturahim dengan para mantan pendukungnya di Pilpres 2004. Pada dasarnya fitrah kebebasan tak bisa diingkari. Manusia lahir dalam keadaan bebas. Seiring perkembangan dan pertumbuhan manusia, aturan dan tata sosial mulai mengikatnya. Man is born free, and everywhere he is in chains , kata Jean-Jacques Rousseau dalam karya monumentalnya, The Social Contract .
Begitu pun SBY. Ia harus menjalani dan merasakan hal itu. Kebebasan yang dulunya dirasakan dan dinikmatinya, sedikit demi sedikit harus terkurangi oleh tugas dan tanggung jawabnya yang semakin besar. “Ingin saya bebas, tapi kan ada Paspampres, nanti chek secu rity , makanannya harus steril, dan lainnya,”.
Sebagai sosok yang berlatar belakang militer, tak ada kata menyerah apalagi mundur bagi SBY. Terlanjur amanah disematkan, tugas harus dijalankan sesuai aturan. Aturan dibuat untuk kebaikan kerja SBY sebagai Presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Terlebih untuk bangsa yang besar dengan segala kompleksitas problematikanya yang harus dicarikan jalan keluar. Namun, SBY tetap mengingatkan para aparat keamanan yang mengawalnya. “Tolong dik, jangan keras-keras ini rakyat kita”, pinta SBY pada pasukan pengawal presiden (Paspamres) yang melekat setiap saat. “Siap, kami harus mengamankan”. “Iya, tapi jangan keras-keras,” pinta SBY.
Satu sisi SBY harus taat aturan protokoler sebagai bukti ketaatan pada aturan yang mengikatnya. Tapi di sisi lain SBY tak bisa berjarak dengan rakyat yang ikut mengantarkannya menjadi Presiden dan harus dilayani. Jalan tengah selalu menjadi cara SBY dalam memecah kebuntuan antara tuntutan aturan dan keinginan rakyat. Ia tetap mengikuti aturan protokoler dengan sedikit melonggarkannya sesuai kebutuhan di lapangan dan tetap bekerja maksimal sesuai tugas dan tanggung jawabnya pada bangsa dan negara sekaligus sebagai bukti kedekatannya dengan rakyat. Kedekatan pemimpin pada rakyat tak selalu dalam arti fisik. Kepedulian yang ditunjukkan melalui kerja dan ikhtiar yang maksimal untuk bangsa adalah kedekatan sejati. Dan pemimpin sejati adalah yang berani mengorbankan kebebasannya dan mengekang dirinya dalam kerja-kerja yang maksimal untuk rakyatnya.*
0 komentar:
Posting Komentar