harga genset honda

Gue Seorang Ibu, Masalah Buat Lu Kalo Gue Nulis Artikel (Bernuansa) Saru?


Ketika pertama kali bergabung dengan Kompasiana, saya bingung harus mengisi apa pada kolom biodata. Saya ‘cuma’ seorang istri, saya ‘cuma’ seorang ibu. Walau jabatan saya adalah Manager Operasional PT. Dapoer Ngeboel dan Vice President PT. Roemah Tangga Bahagia Abadi, saya tetaplah seorang istri dan ibu.


Dan akhirnya status itulah yang saya cantumkan ke dalam biodata. Dengan segala konsekuensi yang harus saya tanggung. Menjadi rem buat saya agar tidak berbuat ‘onar’, ‘bodoh’, dan ‘tidak cerdas’.


Status yang saya cantumkan itu melekat pada diri saya, karena saya memilih untuk mencantumkannya. Kalau saya cuma menulis ‘a writer’, bolehlah saya menulis tentang apa saja sekehendak saya. Tulisan tanpa etika sekali pun. Membawa hal-hal saru ke ranah umum seperti Kompasiana ini, misalnya. Dengan judul dan rincian vulgar. Dengan berbagai istilah yang menjurus ke arah pengungkapan ragawi kelamin. Tapi apakah kemudian orang akan melihat saya sebagai pribadi yang bertanggung jawab? Yang mengenal saya sebagai emak-emak pastilah mencibir, “Wong emak-emak kok pethakilan? Wong emak-emak punya anak kecil kok omongannya saru? Gimana itu nanti ngajarin anaknya?”


Kalau pun ada orang yang jadi spesialis saru di Kompasiana, lha ya sudah, memang pekerjaannya begitu. Tapi paling tidak si spesialis itu nggak pernah sampai bikin artikel yang mengecam penayangan artikel-artikel saru di Kompasiana. Lha kalo misalnya saya yang sudah dengan bangganya mengusung status ‘seorang istri dan ibu’ ini pernah nulis artikel yang mengecam munculnya artikel saru, kemudian buntut-buntutnya malah saya sendiri nulis artikel saru, lha apa ayam-ayam yang paruhnya selalu mecucu itu nggak bakalan ngakak guling-guling?


Ketika kita dengan sadar dan bangga ‘menempelkan’ status itu pada biodata kita, saat itu juga akan ada konsekuensi yang harus kita tanggung. Saya seorang ibu. Maka saya harus berlaku sebagai seorang ibu. Ibu adalah guru utama bagi anak-anaknya. Bagaimana bila seorang guru ini seenaknya memaki orang lain dengan kata-kata kotor? Bagaimana bila seorang guru ini perkataannya mencla-mencle? Kemarin menggugat, esok hari malah mengunggah hal yang sama dengan yang digugatnya? Bagaimana bila seorang guru ini menerima setiap kritik dari anak dan suaminya sebagai tindakan pem-bully-an padahal semua kritik itu bisa membangun si guru ini ke arah yang lebih baik?


Di mana pun, bahkan di negara yang sering kita bilang sebagai biangnya kebebasan pun, pernah ada seorang ibu yang dipenjarakan karena tidak bisa mendidik anak-anaknya dengan baik. Ada pula guru yang dipecat karena berlaku tidak senonoh di dunia maya. Apakah bisa dipisahkan begitu saja status seseorang dengan kehidupannya sehari-hari? Apalagi bila status itu dengan bangga kita tempelkan di mana-mana?


Menempelkan status diri sebagai seorang ibu, istri, pengajar, guru, pendidik, dosen, a writer, direktur, buruh, pegawai, pengusaha, dokter, bidan, orang pintar, dukun, cenayang, dan lain sebagainya itu membawa konsekuensi sendiri-sendiri. Kita tidak bisa berlindung dengan berkata, “Ah, aku cuma manusia, pasti ada salahnya. Kamu juga manusia, pasti ada salahnya juga, nggak perlu ceriwis ngomong ini-itu.”


Kita memang ‘cuma’ manusia yang gampang dipengaruhi setan yang rapi bersembunyi dalam hati kita. Tapi kita juga manusia yang sudah diberi akal budi yang berguna untuk memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Tinggal kita mau atau tidak mendengarkan nurani kita itu. Ataukah sudah tertutup dengan keinginan untuk tenar, bombastis, dan jadi selebriti maya? Cuma kita sendiri yang tahu.


Jadi, ’gue’ seorang ibu, masalah buat lu kalo ‘gue’ nulis artikel (bernuansa) saru? Buat ‘lu’ mungkin nggak ada masalah. Tapi jadi masalah besaaaarrrr buat ‘gue’. Karena itu artinya ‘gue’ nggak konsisten sama pilihan ‘gue’ sendiri. Pilihan untuk mencantumkan status ‘istri dan ibu’ dalam kolom biodata ‘gue’.


Dan seandainya saya menemukan guru creative writing anak saya berlaku seperti itu, menyematkan status ‘pengajar’ tapi tidak konsisten dengan jalan pikirannya sendiri, mendingan saya didik sendiri anak saya untuk menulis. Supaya belajar konsisten dengan jalan pikiran dan tulisan-tulisannya sendiri.


Salam ogah saru,

Lis S.



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/18/gue-seorang-ibu-masalah-buat-lu-kalo-gue-nulis-artikel-bernuansa-saru-610427.html

Gue Seorang Ibu, Masalah Buat Lu Kalo Gue Nulis Artikel (Bernuansa) Saru? | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar