Jika anda membaca tulisan ini karena judul “Haji made in Cina”, maka di awal penulis jelaskan bahwa maksud tulisan ini bukan Haji buatan Cina atau Haji yang dibuat di Cina.
Kalau anda jalan-jalan ke Bandung, penulis jamin anda dapat dengan mudah mendapatkan hasil kreativitas anak bandung; Made in Bandung. Juga sangat mudah anda menemukan produksi-produksi local anak Indonesia ketika anda berkunjung ke daerah-daerah pariwisata di Indonesia.
Hal yang berbeda penulis dapati ketika berkunjung ke King Saudi Arabia, saat Haji di Mekkah dan Madinah. Penulis kesulitan mencari barang-barang made in Saudi untuk dibeli sebagai oleh-oleh. Mungkin karena Arab Saudi menjadi produsen di bidang lain (Minyak), dan masyarakatnya relative berduit membuat masyarakatnya kurang creative. Ini sih dugaan penulis semata.
Tapi bukan itu penyebab lahirnya tulisan ini. Ada fenomena yang membuat penulis kagum, kaget, bercampur -sedikit- miris. Betapa banyak produksi Cina menguasai pasar haji. Penulis katakan pasar haji, karena bukan saja barang dagangan di mekkah dan madina bahkan barang-barang pesanan untuk kelengkapan haji; peci, sorban, tasbeh, bahkan karet gelang sebagai penanda jema’ah haji dibuat di Cina.
Kagum dengan Negara Cina yang cerdas untuk menembus dan menguasai pasar haji dan kota-kota di Saudi dengan produk-produknya. Penulis meyakini menjamurnya produk-produk Cina karena adanya sinergitas antara keberadaan para pengusaha Cina dan kebijakan pemerintahannya.
Penulis sebetulnya tidak terlalu memikirkan minimalnya produk-produk Saudi Arabia. Ada satu pertanyaan di benak penulis yang membuat sedikit miris; kenapa Negara Cina bukan Negara Indonesia? Yang membuat lebih miris adalah ketika pemerintah (pengelola haji) Indonesia –penulis kurang tahu pasti pemerintah atau pengelola- harus memesan karet gelang penanda jemaah haji asal Indonesia harus dari Cina juga.
Apakah Indonesia tidak bisa memproduksi karet gelang? Apakah kualitas karet gelang made in Indonesia lebih jelek dari pada made in Cina? Apakah pemerintah (pengelola haji) Indonesia tidak cinta dengan produk dalam negeri? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang hanya membuat pengap dada penulis.
Pelajaran
1. Bukan tentang agama dan bukan karena sebuah keyakinan, sebuah Negara akan maju. Kebijakan pemerintahan, integiratas para pemangku kekuasaan, dan komitmen setiap individu bangsalah yang menjadi pondasi utama.
2. Jangan karena berbeda keyakinan kita tidak menjalin hubungan baik dalam bidang ekonomi dan sosial. Rasulullah mencontohkan bagaimana beliau melakukan transaksi dengan warga yahudi. Bahkan dalam sabdanya “kalian lebih tahu dalam urusan dunia kalian” tentunya tanpa meninggalkan nilai-nilai islam dalam setiap kegiatan. Di lain saat Rosulullah bersabda “carilah ilmu walau ke negeri Cina!”.
0 komentar:
Posting Komentar