harga genset honda

BUDAYA PERBUDAKAN DALAM FIKIH


Pikiran manusia selalu saja menemukan momentum untuk memisahkan diri dari sifat alami kemanusiaannya sendiri. Dahulu kala, manusia sangat kental dengan konstruk budaya perbudakan (riqab). Eksploitasi besar-besaran terhadap sesama manusia yang melebihi batas kemanusiaan itu sendiri. Manusia yang hidup dalam balutan budaya perbudakan menjadikannya barang komoditi dan dapat diperjual belikan dengan asas kepemilikan (tamalluk). Ia sebatas barang dengan pemanfaatan penuh di tangan sang pemilik (sayyid). Dalam konteks seperti inilah, al Quran mulai diproduksi. Al Quran mengkonsumsi budaya perbudakan berskala internasional yang melibatkan negara-negara besar seperti persia dan romawi. Istilah-istilah budak dalam al Quran dapat kita jumpai seperti ‘abdun bagi budak laki-laki dan amatun dan raqabah bagi budak perempuan. Sikap konsumtif al Quran ini kemudian menjadi polemik budaya yang disikapi secara berbeda oleh umat islam.


1. Mereka yang berpendapat bahwa misi al Quran untuk menghapus perbudakan. Ini terlihat pada konsep membebaskan budak (‘itqu raqabah) yang terkadang disifati terbatas pada budak yang beriman dan terkadang tidak dibatasi dengan sifat tertentu sehingga kemutlakan ini ditentukan oleh mereka yang hendak memerdekakan budak. Konsep pembebasan lainnya, kita temukan pada posisi budak (fi ar riqab) dalam objek zakat agar harta zakat tersebut digunakannya untuk membebaskan dirinya dari perbudakan. Dengan demikian, ajaran islam menentang sistem perbudakan.


2. Mereka yang berkeyakinan bahwa al Quran sangat relevan untuk setiap periode sejarah manusia. Dengan berlandaskan pada paradigma seperti ini, muncul pemikiran bahwa budak harus dipertahankan agar ayat al Quran dapat diterapkan. Akhirnya, al Quran dijadikan alat justifikasi menyuburkan budaya perbudakan.


3. Mereka yang mengembangkan pemaknaan budak secara kontekstual setelah melihat realitas esensi perbudakan masih berlanjut hingga saat ini. Model dan sistem berbeda menyiratkan satu makna yakni perbudakan manusia atas manusia lainnya.


Sebagai bagian dari pemikiran keagamaan, fikih menfokuskan perhatiannya pada aturan-aturan formal terkait hubungan budak dengan majikannya, aurat dan posisinya dalam pandangan hukum. Aturan formal ini terlihat dari sikap fikih yang memposisikan budak sebagai barang. Dia tidak memiliki hak apapun karena berada di bawah kekuasaan majikan. Diskursus budak dalam fikih telah usai seiring perjalanan sejarah manusia. Sistem perbudakan telah dihapus sehingga menjadikannya sebagai serpihan sejarah peninggalan manusia zaman dulu. Dengan sederhana, dapat kita ungkapkan bahwa fikih merupakan teropong masa depan ke zaman pro perbudakan. Tidak mengherankan karena fikih begitu apik mendeskripsikan sistem pada budaya perbudakan. Penyesalan penulis sebagai manusia belakangan, kenapa fikih “yang dulu” tidak mengadopsi jiwa revolusioner al Quran dan hadits untuk mengentaskan perbudakan dari dunia ini? Apakah fikih pro perbudakan?



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/22/budaya-perbudakan-dalam-fikih-610230.html

BUDAYA PERBUDAKAN DALAM FIKIH | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar