harga genset honda

Tanggapan Thd Jawaban Bambang Harymurti


Saya baru mengetahui siang ini saat membaca tulisan di website Tempo perihal film-film pahlawan Indonesia mulai dari mencaci maki Janur Kuning sebagai manipulasi sejarah (sudah standar Tempo mendeskriditkan segala sesuatu tentang Pak Harto) sampai membahas film Soekarno, bahwa tulisan sekedarnya yang saya buat, yang notabene ide untuk tulisan tersebut datang setelah membaca buku Saksi Kunci karya Metta Dharmasaputra terbitan Tempo dan pada saat yang bersamaan muncul tulisan “Jilbab Hitam” di Kompasiana, ternyata ditanggapi oleh Bambang Harymurti di website Tempo tentu di luar dugaan. Sebenarnya lebih di luar dugaan lagi betapa seriusnya Tempo menanggapi tulisan anonim “Jilbab Hitam” sampai mereka berencana membuat seminar untuk membahas hal ini. Sungguh luar biasa, padahal tulisan “Jilbab Hitam” muncul tidak lebih dari satu hari sebelum dihapus admin kompasiana.


Biasanya saya tidak mau capek menanggapi tanggapan orang terhadap tulisan saya, karena saya berpendapat tanggapan dibalas tanggapan tidak akan habis-habisnya dan hanya akan jadi debat kusir saja, jadi biarlah apapun posisi saya terhadap sesuatu, terhadap yang kontra saya anggap kita sepakat untuk tidak sepakat saja. Akan tetapi melihat betapa seriusnya Tempo dengan isu yang dimulai sejak kemunculan “Jilbab Hitam” itu, maka saya akan mencoba menanggapi jawaban Bambang Harymurti tersebut.


“BHM: justru kebalikannya. Sebab data dasar seperti gaji saja keliru. Maka kami yakin penulisnya tak pernah bekerja di Tempo. Apalagi budaya wartawan Tempo adalah pantang menulis dengan menyembunyikan identitasnya. Penulis mengaku reporter Tempo angkatan 2006.


BHM: itu sebabnya dengan mudah kami yakin penulis bukan mantan wartawan/wati Tempo.


BHM: jelas bukan mantan wartawan Tempo”


TANGGAPAN: Dari awal saya berpandangan identitas dari “Jilbab Hitam” sama sekali bukan isu sebab dia telah memberikan data-data yang mudah untuk diverifikasi kebenarannya. Yang menarik dari tulisan “Jilbab Hitam” sebenarnya adalah tulisan tersebut dilengkapi data-data yang sangat valid, bahkan kalau tidak salah ingat seorang mantan wartawan Tempo menulis walaupun orang ini bukan wartawan Tempo tapi dia pasti pernah menduduki desk Ekonomi dan Bisnis. Selain itu tulisan “Jilbab Hitam” juga memenuhi standar tulisan Tempo dan standar kode etik pers Indonesia:


http://politik.kompasiana.com/2013/11/13/kala-tempo-kena-batunya-610298.html


“BHM: pemerintah RI banyak menerima bantuan luar negeri termasuk AS. Juga banyak institusi lainnya termasuk ITB, MUI dsb. Jadi “so what”?”


TANGGAPAN: Saya tidak tahu penggunaan dana Amerika oleh ITB dan MUI jadi saya tidak akan masuk ke sana. Yang pasti menyamakan pemerintah RI dan institusi seperti LBH Jakarta yang menerima dana asing sepertinya sangat naïf dan sekedar mencari-cari alasan belaka. Jelas, bahwa dana asing yang diterima Pemerintah RI digunakan sebesar-besarnya untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat dan itupun sebagian besar dana tersebut adalah pinjaman yang harus dikembalikan beserta bunganya, yang saya percaya hari ini utang luar negeri Indonesia mencapai Rp. 2.400.000.000.000,00.


Sedangkan NGO seperti LBH Jakarta yang mana Gunawan Muhammad adalah bagian dari klik tersebut, menerima dana asing untuk mengacau pembangunan dan dengan sendirinya menggangu kesejahteraan rakyat, semua semata-mata demi menurunkan pemerintahan yang sedang berkuasa agar pemerintah asing dapat menguasai Indonesia, sebagaimana juga diperkuat dalam buku “Confession of an Economic Hitman”. Oleh karena itu dana asing yang diterima klik LBH Jakarta dan lain-lain tidak perlu dikembalikan dalam bentuk tunai, melainkan dikembalikan dalam bentuk rezim yang tunduk pada keinginan pemerintahan asing tersebut, dan orang Indonesia yang turut menggadaikan Negara kepada pemerintah asing layak dipertanyakan nasionalisme maupun patriotismenya.


Selain itu menggunakan dana pemerintah asing tersebut, aksi klik LBH Jakarta yang tahun 1996 sampai 1998 saja menerima USD 6,7 juta sudah berkali-kali menimbulkan kerusuhan, mulai dari Malari, PDI 1996, Mei 1998, Tragedi Semanggi dan lain-lain. Kendati katanya Malari dan Mei 1998 adalah bagian dari skenario Ali Moertopo-Soemitro dan Wiranto-Prabowo, akan tetapi bila tidak ada pihak yang dimanfaatkan, maka pihak yang memanfaatkan tidak akan memicu kerusuhan, dan sementara rusuh, klik LBH Jakarta justru bersembunyi. Ini adalah hutang darah klik LBH Jakarta dan para “aktivis demokrasi, HAM, dan kebebasan pers” kepada bangsa Indonesia yang harus kalian bawa ke dalam liang kubur dan pertanggung jawabkan di akherat. Inilah jawaban bagi pertanyaan “so what menerima dana asing?”


“BHM: silakan baca buku “Kesaksian Vincent” yang ditulis Metta (bisa dibeli di Gramedia). Tempo tak pernah menerima uang Edwin Soerjadjaja. Dilema yang saya hadapi sebagai pimpinan Tempo saat itu adalah bagaimana menyelamatkan jiwa Vincent yang merupakan saksi kunci kasus penggelapan pajak terbesar di Indonesia, yang berhasil dibujuk Metta/Tempo untuk menyerahkan diri ke KPK bersama semua bukti-buktinya, ternyata tak bisa dilindungi KPK karena harus diserahkan ke Polda untuk pemberkasan kasus pencurian uang Asian Agri dan kami mendapatkan informasi bahwa ia akan dihabisi di dalam?


Saya yang meminta Metta untuk mencari konglomerat putih yang mungkin bisa membantu karena saya tahu setiap konglomerat di Indonesia punya “orang dalam” di polisi untuk menjaga kepentingan keamanan bisnis mereka. Metta melakukannya dengan masygul karena dia seorang wartawan yang amat menjunjung tinggi etika. Bahkan kemudian dia minta “diadili” oleh majelis kode etik AJI untuk kasus ini dan oleh majelis kode etik yang diketuai oleh pak Atmakusuma (pemenang Magsasay award” dinyatakan tak ada pelanggaran etika karena ada kewajiban wartawan untuk melindungi sumbernya.


BHM: uang itu diserahkan Metta sepenuhnya kepada keluarga Vincent untuk biaya pengacara. Silakan dibaca bukunya.


BHM: tidak ada satu peser pun uang masuk ke Tempo. Bahkan Tempo keluar uang untuk kasus ini.


BHM: Saya memang salah satu pendiri “Transparency International Indonesia” dan memang saya mendampingi Vincent semampu saya secara sukarela. Kami mendapatkan juga bantuan pengacara probono. Namun jangan lupa, pengacara probono yang gratis itu jasa pengacaranya sedangkan biaya logistik “at cost” tetap harus kami tanggung. Saya beruntung beberapa teman kemudian bantingan untuk membayar biaya-biaya ini.”


TANGGAPAN: sumber tulisan saya justru berasal dari buku Metta Dharmasaputra tersebut, sebab sebelumnya saya tidak mengikuti berita Asian Agri mengingat sudah menjadi kebijakan saya untuk tidak membuang waktu dengan mengikuti apapun isu nasional yang sedang dimainkan oleh Majalah Tempo sebab isinya dapat dipastikan jauh dari kebenaran dan ketika membeli buku Metta tersebut saya sedang iseng karena di toko buku tidak ada buku baru yang menarik, dan isu Asian Agri sudah lewat.


Mengenai uang Rp. 100.000.000,00 yang diterima dari Edwin Soerjadjaja, karena Bambang Harymurti sendiri mengakui bahwa dia yang memerintahkan Metta untuk meminta uang, dan alasan AJI membebaskan Metta adalah karena semua tindakan Metta dilaporkan kepada redaksi dan Tempo, maka tentu saja ketika Edwin Soerjadjaja memberikan uang kepada Metta Dharmasaputra, maka dia memberikannya kepada Tempo, karena Metta adalah perwakilan dan bertindak untuk dan atas nama Tempo. Dengan demikian sesungguhnya sudah jelas bahwa Tempo menerima uang dari Edwin Soerjadjaja. Perihal penggunaan uang tersebut untuk apa, ini hanya Tempo, Metta dan Tuhan sendiri yang tahu.


Tidak benar pro bono berarti out-of-pocket expenses ditanggung klien, sebab tergantung kesepakatan dengan lawyer, bisa juga pro bono berarti semua biaya ditanggung pengacara bersangkutan, atau bisa juga pro bono tapi ada biaya jasa keberhasilan atau success fee di belakang. Kendati demikian tidak benar OPE mencapai 100juta. Katakanlah ongkos bersidang waktu itu sehari adalah Rp. 200.000,00 (termasuk bensin dan uang makan), dan persidangan membutuhkan 20 kali sidang, ditambah biaya fotokopi bukti, nazegelen dan lain-lain maka OPE tidak akan mencapai Rp. 10.000.000,00. Bila butuh saksi ahli, tentu bisa menghadirikan para aktivis anti korupsi, saya yakin mereka bersedia hadir tanpa dibayar demi membongkar skandal pajak Asian Agri. Selain itu mengapa tidak memanfaatkan jaringan pengacara papan atas di transparency international? Seorang Bambang Harymurti bukanlah pengacara, tapi memiliki jaringan pengacara papan atas anti korupsi yang sangat banyak, mengapa tidak dimanfaatkan? saya yakin bias pro bono termasuk OPE sehingga tidak perlu merendahkan diri meminta-minta uang.


Perihal sidang etik AJI, hal tersebut baru dilakukan setelah hasil penyadapan bahwa Metta dan Tempo menerima uang dari Edwin tersebar ke publik, bukan karena hati nurani Metta terusik karena meminta uang. Bila tidak disadap, tentu tidak ada sidang etik dan kita tidak tahu bahwa Tempo meminta uang pada seorang konglomerat, dan mungkin saja jumlah yang diterima Tempo adalah melebihi Rp. 100juta. Selain itu, saya tidak yakin pemeriksaan di AJI bebas dari bias dan berjalan fair.


“BHM: Sebelum bekerja di TEMPO. Metta adalah wartawan harian Bisnis Indonesia yang sudah banyak mengenal konglomerat dan pengusaha Indonesia.


BHM: Itulah kehebatan Metta sebagai wartawan bisnis. Karena reputasinya yang baik, berintegritas tinggi dan penuh idealisme, banyak nara sumber yang kagum dan jadi simpatisannya. Banyak sumber Metta adalah kalangan pengusaha, termasuk para konglomerat.”


TANGGAPAN: Tentu saja, oleh karena itu dalam artikel awal saya memuji jaringan konglomerat dan pengusaha yang dimiliki oleh Metta Dharmasaputra yang sangat luas dan ini tentu tidak bisa dipandang sebelah mata dan tidak bias diremehkan.


“BHM: Kalau bagi yang sudah membaca buku “Kesaksian Vincent” hal ini amat terang benderang. Metta bukan wartawan pertama yang dikontak Vincent via email. Ada dua wartawan lain. Bahkan Metta bukan wartawan pertama yang kemudian menemui Vincent di Singapura. Ini cerita seru. Silakan baca bukunya. Saya jamin asik.”


TANGGAPAN: Justru saya mengatakan bahwa Bambang Harymurti mengakui Metta dan Vincent tidak saling kenal sebelum Vincent yang sedang dalam pelarian dan memutus kontak dengan dunia luar itu karena membaca kata pengantar di buku Saksi Kunci. Tapi pertanyaan yang belum terjawab bukan siapa saja wartawan media lain yang dihubungi Vincent, melainkan mengapa dari sekian ratus wartawan Tempo, dia menghubungi Metta seorang padahal tidak saling kenal sebelumnya? Keajaiban? petunjuk yang di atas? atau petunjuk pengusaha atau konglomerat “simpatisan” Metta yang kebetulan saingan Asian Agri? Sepertinya di buku Saksi Kunci motivasi Vincent menghubungi Metta sama sekali tidak diulas, atau mungkin saya yang terlewat?


“BHM: memang inilah kehebatan Metta sebagai wartawan handal. Berkat Metta dan Vincent maka pemerintah mendapatkan dana Rp 2,5 T dan penggelapan pajak terbesar di Indonesia dibonglar dan kemudian dihukum. Hebat kan?”


TANGGAPAN: Kok rasanya tidak nyambung, saya sedang membahas kehebatan Metta menyusup ke pesta rahasia keluarga Salim yang hanya mengundang pejabat dan pengusaha dengan undangan khusus dan tiada duanya, tapi malah dijawab tentang kasus Asian Agri, yang mana sepertinya pemerintah sampai sekarang belum berhasil mengeksekusi, dan masih ada upaya hokum peninjauan kembali. Jadi darimana asalnya pemerintah mendapatkan dana Rp. 2,5 trilyun?


“BHM: Memang sejak MA menghukum Asian Agri harus membayar triliunan rupiah karena pidana pengemplangan pajak terbesar dalam sejarah RI, banyak serangan anonim kepada Tempo dan Metta di dunia maya. Bahkan peneliti atau Universitas yang bersedia mengritik buku Metta atau keprofesionalan Tempo akan mendapatkan sponsor. Kemudian setelah membongkar kasus korupsi pimpinan PKS serangan semakin gencar. Ya dihadapi saja. Selama Tempo setia pada profesi dan terus membela kepentingan publik, kami yakin pasti akhirnya akan menang. :) ”


TANGGAPAN: Saya tidak tahu motivasi “Jilbab Hitam”, tapi saya sendiri tidak terlalu peduli dengan kasus Asian Agri dan tidak kenal siapapun di grup tersebut. Antipati saya terhadap Tempo adalah karena saya memperhatikan mayoritas berita di Tempo bersifat pesanan, dan juga Tempo berposisi untuk membangkitkan PKI dan komunisme di Indonesia, semua semata-mata demi pemikiran keblinger bahwa membangkitkan PKI adalah manusiawi padahal Uni Soviet sebagai tempat kelahiran comitern saja sudah melarang komunisme dan partai komunis. Selain itu Tempo sebagai media massa atau pers seharusnya memberitakan berita dengan netral, akan tetapi seperti diakui oleh wartawan Tempo bernama Sundari yang menyebut dirinya sebagai “Jilbab Pink”, Tempo kerap memberitakan berita dengan berpihak, dan karena itu berita Tempo menjadi bias dan sarat kepentingan dan dengan demikian sebagai pihak yang mengaku-ngaku sebagai pahlawan kebebasan pers/champion of press freedom, Tempo telah menghianati jati dirinya sebagai insan pers yang seharusnya hanya mengejar kebenaran dan bukan kepentingan.



sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/11/16/tanggapan-thd-jawaban-tempo-611264.html

Tanggapan Thd Jawaban Bambang Harymurti | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar