harga genset honda

PMK


PMK yang ini bukanlah singkatan dari Pengusaha Modal Kecil, Pelacur Membuka Kutang, Pejabat Mahkamah Konstitusi, Persekutuan Mahasiswa Kristen, dan lain-lain. Maksud saya, Puisi Menolak Korupsi. Tahun 2013 sudah ada, diabadikan dalam sebuah buku kumpulan puisi bersama, dan peluncurannya sangat heboh bersama Komisi Pemberantasan Korupsi.



Kebetulan saya tidak berpartisipasi, meski semula mendapat pemberitahuan dari seorang kawan. Apakah dengan tidak berpartisipasi itu berarti saya mendukung korupsi?



Hal pertama yang perlu digarisbawahi sekaligus saya sadari, saya bukanlah pemuisi alias pencipta atau pengrajin puisi. Banyak penyair Indonesia yang setuju pada kesadaran saya ini. Kalaupun saya nekat merangkai kata-kata serba biru-mendayu, mereka pasti tidak akan mengategorikan rangkaian kata itu sebagai puisi. Kalau masih ngotot, satu sebutan yang tepat : puisi gagal.



Itu alasan paling krusial dari saya. Bukanlah alasan yang mengada-ada. Juga, ini bukanlah sepucuk curahan hati, sehingga tidaklah usah prihatin dan menyebut seribu persen.



Hal kedua adalah pemahaman saya, yang mungkin keliru, mengenai puisi. Kata orang, puisi merupakan bahasa batin yang peka nan gelisah, yang terangkai dalam kata-kata dengan kaidah-kaidah tertentu, misalnya metafora, metonimi, aliterasi, rima, dan lain sebagainya. Pengolahan seluruh unsur itu sekaligus strukturisasinya menjadi sangat penting bagi sebuah rangkaian kata dalam bait-bait untuk disebut sebagai puisi.



Saya tidak mampu membuat puisi atau semacam puisi, seperti yang saya tulis pada hal pertama. Puisi menolak korupsi, dalam benak saya, cenderung menjadi puisi pamflet. Puisi pamflet mengingatkan saya pada Rendra dan Wiji Tukul. Sementara saya terbiasa membaca puisi cinta semisal puisi bikinan Sapardi, atau puisi sakit hati akibat putus cinta semisal puisi gagal bikinan saya sendiri.



Dan, ada satu hal lagi, hal ketiga, yang sangat menguatkan keputusan saya untuk tidak nekat membuat puisi (puisi gagal lagi) lantas mengirimkannya ke perekrutan puisi menolak korupsi. Pada point 4 yang tertera sebagai berikut:



4. Maka di samping kawan-kawan saya mohon untuk mengirim karya bertema anti korupsi minimal 5 puisi (berikut biodata & foto diri), pada tahap selanjutnya nanti (usai seleksi), kawan-kawan yang karyanya lolos juga saya mohon berkenan mengirimkan iuran untuk ongkos cetak/penerbitan minimal Rp 150.000,-



Sebuah permintaan yang penuh iba “kawan-kawan saya mohon untuk mengirim karya bertema anti korupsi minimal 5 puisi (berikut biodata & foto diri) ” terasa persuasinya menggetarkan batin saya. Persuasi mengharap belas kasihan. Kasihan sekali.



Namun, begitu dilanjutkan dengan kalimat “pada tahap selanjutnya nanti (usai seleksi), kawan-kawan yang karyanya lolos juga saya mohon berkenan mengirimkan iuran untuk ongkos cetak/penerbitan minimal Rp 150.000,- “ mendadak menghentak batin saya. Dalam benak saya, puisi yang lolos seleksi bukan berarti bisa melenggang kangkung dalam lembar buku nanti.



Bagi saya, membuat puisi saja sudah susah, kok malah ditambah dengan permohonan “ongkos cetak/penerbitan minimal Rp 150.000,- “, bahkan dengan menggunakan kata “minimal”. Ibarat sebuah sumbangan suka-rela tetapi dengan menyebut sebuah angka minimal.



Yang juga singgah dalam pikiran saya, 1) untuk bisa tercetak dalam buku, harus membayar dulu, meski sudah lolos seleksi. Bagaimana kalau tidak membayar; apakah puisi yang lolos seleksi itu akan termuat dalam buku?



2) Minimal Rp.150.000,- itu berarti tidak boleh Rp.149.000,- dan di bawahnya lagi. Lha, bagaimana kalau penulis puisi belum bekerja tetapi puisinya lolos dan hanya mampu membayar Rp.25.000,- apakah tidak akan dimuat?



3) Nominal Rp.150.000,- itu seolah-olah sebuah sogokan/suap atau bahasa kerennya “gratifikasi” alias bagian dari korupsi. Lhadalah! Katanya “puisi menolak korupsi”, lha kok ini malah memakai semacam sogokan agar puisi itu bisa tercetak atau dimuat dalam buku?



4) Penulis puisi (pemuisi) yang, karena, puisi lolos seleksi, membayar minimal Rp. 150.000,- dan puisinya dicetak/dimuat dalam buku itu, maka sudah sah disebut Pemuisi/Penyair Menolak Korupsi, begitukah? Terus, apakah penyair yang tidak tergabung dalam buku itu lantas layak-pantas menyandang predikat “Pemuisi/Penyair Setuju Korupsi” (PSK)?



Oleh karenanya, dengan penuh kesadaran melalui pertimbangan-pertimbangan di atas, saya akhirnya “mengetok palu” bahwa saya tidak akan pernah membuat puisi untuk kepentingan-kepentingan yang justru mengingkari hakikatnya sendiri. Mending saya membuat catatan semacam ini, dan menggelari diri sendiri “PCFMPS” (Penulis Catatan Fesbuk Menolak Puisi Suap).



********


Balikpapan, 13 November 2013



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/17/pmk-608718.html

PMK | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar