Pada era reformasi, pemekaran daerah adalah sesuatu hal yang paling menarik di bicarakan. Bukan karena faktor yang mempercepat pembangunan melainkan juga nilai-nilai sejarah dan cerita panjang perjuangan pemekaran itu sendiri. Ini bermula dari revolusi 1998, gelombang demonstrasi mahasiswa yang terkordinir di beberapa wilayah Indonesia telah mengakibatkan runtuhnya rezim Orde Baru. Dampak besar yang dihasilkan adalah masa transisi “Indonesia Baru” yang disebut Reformasi. Di sini saya tidak membahas tentang reformasi, tetapi hasil dari reformasi tersebut yaitu daerah pemekaran atau lebih dikenal dengan Daerah Otonomi Baru.
Pemerintahan pasca 1998 sangat serius untuk melaksanakan sistem desentralisasi di saat krisis ekonomi yang melanda di kawasan Asia dan masa transisi dari rezim otoritarian ke rezim demokrasi dengan tetap menjaga stabilitas politik. Upaya Pemerintah untuk melakukan desentralisasi sangat serius di dengungkan, segala usaha di lakukan salah satunya dengan mengevaluasi dan membatalkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan terbitnya regulasi ini berarti Pemerintah Pusat hanya mengurusi sektor strategis dan kebijakan nasional dan selebihnya diberikan kewenangan otonomi kepada daerah. Ini adalah cikal bakal pemekaran daerah yang pesat yang telah kita rasakan saat ini.
Pada masa multi krisis tersebut kita masih mengingat kehilangan Timor Timur yang memisahkan diri dari Indonesia, kembali di tahun 1999 kita memiliki 26 Provinsi. Di lain tempat tuntutan untuk pemekaran juga datang dari berbagai daerah, baik untuk pemekaran Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Pada tanggal 4 Oktober 1999 Maluku Utara adalah Provinsi pertama yang di mekarkan di era reformasi. Kemudian di lanjutkan dengan pemekaran provinsi baru antara lain Banten (2000), Kepulauan Bangka Belitung (2000), Gorontalo (2000), Papua Barat (2001), Kepulauan Riau (2002), Sulawesi Barat (2004) dan terakhir Kalimantan Utara (2012). Pemekaran di tingkat Kabupaten/Kota jumlahnya juga tidak sedikit.
Untuk memperlambat laju tuntutan pemekaran, Pemerintah juga telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian mengalami beberapa kali perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Dengan membuat syarat dan ketentuan yang lebih ketat untuk pemekaran daerah. Namun langkah itu tidak menyurutkan niat pejuang-pejuang pemekaran daerah, apalagi setelah melihat kondisi antrian pemekaran daerah otonomi baru di DPR RI yang begitu panjang.
Mengesahkan Daerah Otonomi Baru adalah niat baik untuk membangun demokrasi. Namun melihat fakta di lapangan, pemekaran daerah yang terburu-buru dan tanpa analisa serta tujuan mulia, hanya akan membangun dinasti-dinasti di daerah dan menguntungkan kelompok tertentu. Pada akhirnya tujuan untuk mensejahterakan rakyat juga tidak bisa dirasakan sepenuhnya. Bila melihat secara keseluruhan, juga banyak daerah pemekaran yang berhasil membangun daerahnya, tapi tidak sedikit pula Kepala Daerah terkena kasus hukum dan berakhir di penjara. Terhitung hingga Oktober 2013 sudah 304 Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang tersangkut masalah hukum. Angka yang patut di evaluasi total.
Hingga di Oktober 2013, Indonesia telah memiliki 34 Provinsi, 414 Kabupaten dan 97 Kota. Perkembangan Daerah Otonomi Baru ini sangat fantastis bila melihat sebelum era reformasi terjadi. Angka tersebut masih akan terus bertambah, bila melihat tuntutan pemekaran yang terus terjadi dan antrian panjang pengesahan pemekaran masih banyak di DPR RI. Semoga dengan begitu banyak Pemerintahan Daerah yang terbentuk bisa memberikan dampak positif bagi masyarakat, dengan menciptakan lapangan kerja atau bahkan peluang usaha.
0 komentar:
Posting Komentar