Bila kabar yang tersebar hari ini bisa dipercaya, maka akhir identitas di balik “Jilbab Hitam” terkuak juga. Dengan asumsi berita tersebut benar adanya, maka penelaahan seorang mantan jurnalis Tempo yang mengatakan bahwa “Jilbab Hitam” bukan wartawan Tempo tapi akurasi datanya menunjukan bahwa orang ini setidaknya adalah wartawan dan pernah duduk di desk Ekonomi dan Bisnis. Secara kebetulan orang yang diduga sebagai “Jilbab Hitam” adalah mantan wartawan detik.com yang tersangkut kasus pemerasan terhadap Krakatau Steel ketika mereka sedang IPO.
Sebagai mantan wartawan, tidak heran gaya penulisan “Jilbab Hitam” itu “Tempo banget” sebab memenuhi standar dan etika penulisan artikel jurnalis era reformasi yang mengusung standar jurnalisme Amerika Serikat yang dibawa atau dipaksakan oleh Gunawan Mohammad dan setiap napas maupun denyut etika pers Amerika ada di dalam Tempo yang dari namanya saja meniru majalah terkenal Amerika yang kerap menerbitkan berita kontroversial dan tidak disaring, yaitu Time.
Bila ada pelajaran yang harus dipetik semua orang terutama jurnalis Tempo, maka pertama, jurnalis harus berhenti menggunakan sumber anonim dalam pemberitaannya. Ciri khas penggunaan sumber anonim dalam iklim keliaran pers hari ini ditandai dengan kalimat “menurut sumber yang dipercaya bla bla bla”. Pertanyaannya apa benar ada sumber berita? Jangan-jangan mengarang bebas lagi seperti “Jilbab Hitam” yang mengaku bertemu beberapa orang dan orang tersebut membuat pernyataan tertentu namun ternyata tidak benar.
Selanjutnya bilapun sumber itu benar ada, namun pembaca harus percaya pada penilaian pers dan jurnalis bahwa sumber tersebut kredibel dan bisa dipercaya. Pertanyaannya lagi, darimana kita bisa percaya sumber yang dikutip oleh jurnalis dan pers tersebut? Kita bisa meninjau kasus Time vs. Pak Harto misalnya, di mana Time mengatakan menurut sumber dan hasil penelitian mereka ditemukan bukti bahwa Pak Harto dan keluarga memiliki uang sekian milyar dolar. Artikel Time ini sampai sekarang sering dikutip dan bahkan pernah dikutip oleh PBB untuk menduga Pak Harto korupsi besar-besaran dan telah melarikan uang ke luar negeri. Setelah Time digugat Pak Harto dan dikonstantir di pengadilan, ternyata terbukti yang disebut “sumber terpercaya dan hasil penyelidikan Time” itu adalah klipingan koran dan majalah yang terbit di Indonesia pasca reformasi, yang saat itu umumnya menulis tanpa bukti bahwa Pak Harto korupsi selama menjabat sebagai presiden.
Pelajaran kedua selain tidak boleh mengandalkan sumber anonim adalah jurnalis memiliki kewajiban untuk memeriksa kredibiltas dan kelayakan sumber berita untuk menjadi bahan berita. Sebab berita yang salah dan terlanjur tersebar susah untuk ditarik kembali sekalipun ada pihak yang dirugikan katanya memiliki hak jawab dan hak melapor ke dewan pers yang dikuasai oleh klik Tempo itu.
Pelajaran ketiga, sudah saatnya kita meninjau ulang hukum pers yang dibuat oleh BJ Habibie kala dia mau pencitraan sebagai anti tesis Soeharto yang “anti kebebasan pers” dan “anti demokrasi” dengan mencabut SIUP-Pers atau surat izin usaha penerbitan Pers, sehingga sekarang siapa saja dapat menerbitkan majalah atau koran tanpa izin usaha dan tidak bisa dibredel ketika yang bersangkutan melawan hukum atau menerbitkan artikel secara tidak bertanggung jawab.
Dalam hal ini adanya SIUP-Pers sama sekali tidak bertentangan dengan kebebasan pers, sebab KPI sebagai pengawas media massa penyiaran saja memiliki hak mencabut izin penyiaran mereka bila melanggar hukum dan kode etik penyiaran, masa pers atau media cetak memiliki imunitas berupa dapat beroperaasi tanpa surat izin? Bisa dibilang saat ini satu-satunya bidang usaha yang mempengaruhi hidup orang namun tidak memerlukan selembarpun izin adalah media cetak. Memang apa keistimewaan pers media cetak sehingga mereka dikecualikan dari memiliki izin?
Pelajaran keempat adalah dewan etik pers harus dikembalikan kepada pemerintah dan dewan ini berwenang mencabut siup-pers bagi pelanggar kode etik pers yang nantinya diperketat dan dikembalikan ke rezim pemberitaan secara hati-hati dan berimbang. Dalam hal ini pencabutan siup-pers sama sekali tidak melanggar hak asasi, sebab di negara manapun pencabutan izin usaha jamak dilakukan, lagipula perusahaan pers yang keberatan dengan pencabutan tidak kehilangan hak untuk menggugat pencabutan izin usaha oleh dewan pers tersebut ke pengadilan tata usaha negara.
Selain pencabutan siup-pers, sanksi yang diterapkan Singapura dapat diadopsi di sini, yaitu pengurangan eksemplar yang boleh diterbitkan untuk waktu yang tidak ditentukan. Di sini pihak yang tertarik membaca namun kehabisan majalah atau koran dapat memfotokopi sehingga tidak ada isu menghalangi kebebasan pers, namun hukuman semacam ini akan “menghantam” pendapatan keuangan perusahaan pers yang melanggar kode etik tadi sehingga mereka dapat memetik pelajaran berharga dari situ.
Pelajaran keempat adalah media massa, redaksi maupun jurnalis tidak boleh meminta uang untuk alasan apapun sehingga kasus tempo metta dharmasaputra meminta uang kepada edwin soerjadjaja yang berhubungan dengan objek pemberitaan atau sumber berita tidak terjadi kembali. Untuk mencegah hal ini terulang kembali, nantinya dewan etik juga berfungsi untuk mengawasi dan menghukum wartawan dan jurnalis yang melanggar hukum dan kde etik, termasuk memberhentikan dari profesi wartawan.
Pelajaran kelima adalah perlu didirikan semacam lembaga sertifikasi wartawan atau jurnalis, sehingga dapat menyaring dan mencegah lahirnya wartawan-wartawan bodrex baru.
Langkah di atas guna memastikan bahwa rezim kebebasan dan imunitas pers untuk memfitnah yang berlaku sejak era reformasi dapat dihentikan sekali untuk selamanya dan rezim pers harus dikembalikan menjadi berwibawa dan dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah untuk mendukung pembangunan, dan bukan menjadi antek negara asing untuk menganggu proses pembangunan di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar