Pelantikan Pengurus Partai Aceh (Sumber: Theglobejournal.com)
PARTAI ini begitu berkuasa. Betapa tidak, hampir semua posisi jabatan Eksekutif dan kursi Legislatif yang tersebar di Aceh, berhasil mereka kuasai. Baik itu di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Terbentuk setelah tercapainya perjanjian Helsinki atau lebih dikenal dengan MoU Helsinki, para elit-elit di Partai ini menjanjikan bahwa Aceh akan kembali mencapai kejayaannya seperti era Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636), jika dipimpin oleh mereka. Rakyat Aceh dihampir setiap pelosok pun (kebanyakan masih awam) ikut terkesima dengan ’kata-kata’ mereka. Lokomotif politik lokal ini bernama partai Aceh.
Tapi itu sekadar nostalgia belaka. Kini, setelah mereka mendapatkan apa yang diinginkan, semua yang pernah dijanjikan kepada rakyat Aceh terbukti sebagai broeh uteun (sampah) alias bualan besar. Kondisi Aceh tidak jauh berbeda ketika masih di landa konflik. Perbedaan yang secara kasat mata dapat dilihat adalah tidak ada lagi kontak senjata antara TNI dengan GAM. Dulu, TNI lah yang dituding sebagai penyengsara rakyat Aceh. Namun saat ini, justru si ’penuding’ yang melakukan penyengsaraan terhadap masyarakat. Bedanya, mereka melakukannya dengan cara pengabaian tanggungjawab, bukan dengan senjata. Sehingga secara perlahan, rakyat Aceh dibuat sengsara. Syukur, Aceh tidak berpisah dengan Indonesia. Mungkin kalau itu terjadi, kondisinya akan jauh lebih buruk.
(Kakak dan Adik) Zaini Abdullah dan Hasbi Abdullah Sedang Menikmati Hidangan Buka Puasa [Sumber Atjehpost.com
Di Aceh, elit-elit partai lokal ini (partai Aceh), lebih banyak terlihat mementingkan kelompok beserta kroni-kroni dan keluarganya. Nepotisme pun kian menjamur. Lihat saja duet dua orang tua (kakak dan adik) yang kini memimpin Pemerintahan Aceh. Mereka adalah Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Hasbi Abdullah. Hubungan antara Eksekutif dan Legislatif pun menjadi layaknya hubungan mesra antara seorang kakak dengan seorang adik. Harmonis (tapi tak profesional), ’adem-ayem’ dan ’sepi senyap’. Praktis, tidak ada ’hiruk pikuk’ yang mengganggu. Seakan-akan kedua Lembaga Pemerintahan ini telah bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing. Sehingga antar keduanya ’tidak perlu’ ada saling kontrol dan saling mengawasi.
Potret Kemiskinan di Aceh Terlihat Dari Banyaknya Rumah Tidak Layak Huni (Sumber: Dok. Pribadi)
Ironis! Dikala rakyat Aceh sedang berusaha keras hanya untuk mencari sesuap nasi, mereka justru dizalimi pada saat yang bersamaan. Lihat saja, bagaimana megahnya bangunan yang dipersiapkan untuk Wali Nanggroe. Tidak sedikit jumlah uang rakyat yang dihabiskan untuk pembangunan Meuligoe (istana). Biaya yang terkuras mencapai puluhan miliar. Itu belum termasuk dana penobatan Wali Nanggroe sebagaimana yang pernah diembuskan oleh salah seorang anggota DPRA, Adnan Beuransah, yakni 50 miliar rupiah (bit-bit ka mabok). Walau, pada akhirnya yang disepakati adalah Rp 2,4 miliar , plus duit lainnya untuk operasional Lembaga Wali Nanggroe. Sungguh sangat jauh berbeda dengan biaya pelantikan seorang Presiden, yang hanya menghabiskan biaya ratusan juta rupiah. Ada yang aneh dalam pengukuhan Wali Nanggroe. Karena orang yang akan dipersiapkan untuk menjadi ’Sang Wali’ adalah Malik Mahmud al-Haytar, yang tidak lain adalah salah seorang Tuha Peut (posisi jabatan tertinggi) di partai Aceh. Independensi Wali Nanggroe pun makin diragukan.
Hati para pemegang amanah rakyat Aceh, sepertinya telah ’membatu’. Padahal, banyak hal lain yang semestinya mereka urus daripada mementingkan Qanun Wali Nanggroe dan Qanun Bendera Aceh (yang mirip bendera GAM). Permasalahan yang jelas-jelas terjadi saat ini dan seharusnya menjadi tugas utama yang harus diselesaikan antara lain, belum memadainya infrastruktur di Aceh, kualitas pendidikan yang masih jeblok (hasil UN SMA di Aceh terburuk secara Nasional), serta ekonomi rakyat Aceh yang kini kondisinya makin terpuruk (kemiskinan paling tinggi di Sumatera). Apakah orang-orang yang ’terhormat’ di Pemerintahan Aceh tidak dapat melihat kenyataan ini?
AROGAN
Perilaku arogan dan kekerasan tampaknya belum sepenuhnya menjauh dari partai Aceh. Setidaknya hingga tahun 2013. Baik itu dilakukan oleh simpatisan, kader maupun para elitnya. Ada beberapa kasus kekerasan yang melibatkan orang-orang partai Aceh. Semenjak kasus kekerasan pada pemilukada tahun 2012, dimana Ayah Banta cs menjadikan pekerja yang berasal dari luar Aceh sebagai target penembakan untuk mengulur-ulur waktu pelaksanaan pemilukada, ada beberapa tindak kekerasan selanjutnya yang melibatkan unsur-unsur internal partai Aceh. Diantaranya adalah pembunuhan Cek Gu yang aktor utamanya dilakukan oleh anggota DPRK Pidie fraksi PA (Ilyas)serta menyeret seorang elit pusat partai Aceh yang berinisial ZS, adu fisik di DPRK Aceh Utara dan penganiayaan masyarakat sipil yang melibatkan Ketua DPRK Nagan Raya, Samsuardi (Juragan).
Ditataran pemegang kekuasaan di Eksekutif dan Legislatif tingkat Provinsi, kader partai Aceh berulah dengan cara yang lebih ’lembut’. Lihatlah bagaimana Gubernur Aceh yang dengan arogan menarik fasilitas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Belum lagi, proses perekrutan anggota Komisi Pemilihan Aceh (KIP) yang dipenuhi ’deal-deal’ tertentu dengan pihak mayoritas di Legislatif Aceh. Bagi para jurnalis, juga pernah mengalami masa-masa dimana bertemu dengan pucuk pimpinan Eksekutif Provinsi Aceh adalah sesuatu yang ’sangat mahal’. Pengawalannya sangat ketat laksana seorang ’raja’ yang jiwanya sedang terancam oleh sesuatu.
Itulah sejumlah persoalan yang masih melilit Provinsi Aceh, yang mana pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia telah banyak memberikan sumbangan bagi tegaknya eksistensi Negara ini. Diantaranya modal pembelian pesawat pertama Indonesia, RI-001 dan RI-002. Atas jasanya ini, Aceh dijuluki oleh Presiden Soekarno sebagai daerah modal kemerdekaan Republik Indonesia.
MENANTI ACEH BARU
Aceh sudah saatnya memperlihatkan wajah yang baru. Terbebas dari kekerasan dan penindasan yang telah banyak terjadi dimasa konflik silam. Semua pengalaman pahit itu sangat tidak pantas menjadi ’warisan’ Aceh masa kini. Pengekangan, pembelengguan dan pembungkaman sudah tidak lagi cocok bagi masyarakat. Aceh memerlukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Senin, 18 November 2013
Ruslan
Baca juga:
Aceh: Ekonomi Bergerak Lambat Bak ”Manula” Sedang Sekarat
0 komentar:
Posting Komentar