Oleh: M. Rasyid Ridha
Era kemajemukan Indonesia semakin hari semakin diuji. Pasalnya, pasca reformasi yang membuka keran keterbukaan ekspresi berbagai macam golongan, ternyata dibarengi pula oleh gejolak-gejolak yang bersifat sekterian hingga berujung kepada kekerasan fisik. Sudah sekian organisasi masyarakat sipil yang menuntut kepada pemerintah agar segera menangani kasus-kasus ini secara sistemik, karena ini melibatkan banyak elemen muda bangsa.
Di satu sisi, gejala-gejala ini sendiri tentunya berawal dari terbukanya penafsiran akan teks-teks ideologi hingga keagamaan, berawal dari wacana dan berujung pada tindakan. Setidaknya, perlu ada upaya pemerintah untuk melakukan filterisasi terhadap ideologi yang berujung pada kekerasan, karena pada ujungnya tindakan kekerasan selalu saja berujung destruktif.
Akan tetapi ide ini tentunya bukannya tidak bermasalah bagi kalangan fundamentalis islam. Acap kali kalangan fundamentalis islam menuduh bahwa alam demokrasi yang digaung-gaungkan berbagai banyak golongan hanya kedok semata, karena dengan adanya intervensi pemerintah seperti diatas, dinilai sebagai upaya menghalang-halangi upaya kaum muslim untuk mempunyai posisi berarti di Indonesia.
Seharusnya harus ada pelurusan ketika melihat adanya tanggapan seperti ini. Hakikat demokrasi hendaknya dijelaskan dengan kata-kata yang merangkul semua golongan, tanpa bermaksud menegasikan secara ekstrem. Demokrasi merupakan keran keterbukaan, namun demi menjaga eksistensinya, demokrasi akan menutup bagi sesuatu yang hendak menutupnya.
Mengutip apa yang disebutkan oleh Nurcholish Madjid dalam Pintu-pintu Menuju Tuhan: 1995, bahwa memang demokrasi cukup culit dilaksanakan dalam masyarakat yang majemuk. Hal itu disebabkan konsensus politik dan keseragaman sosial adalah faktor penting bagi kestabilan demokrasi. Akan tetapi berhadapannya dengan perbedaan, ia perlu seimbang. Maka disinilah masuknya peran ormas sipil untuk mengadvokasi nilai-nilai keberagaman dan kebersamaan.
Bahtiar Effendy dalam “Agama dan Demokrasi: Kasus Indonesia” : 2011, mengungkapkan bahwa sebenarnya ada persamaan-persamaan yang mendasar antara Islam dan Demokrasi. Ini terlihat adanya prinsip-prinsip seperti etis yang diulang-ulang dalam Al-Quran, yaitu prinsip keadilan (al-adl), prinsip kesamaan (al-musawah), dan prinsip musyawarah atau negosiasi (syura) yang dipraktekkan pula oleh Nabi Muhammad ketika di Madinah.
Walaupun dalam beberapa hal, kita melihat bahwa proses transformasi demokrasi ala barat tidak terlepas dari agenda politik ekspansionis barat, inilah yang menyebabkan begitu banyak kecurigaan dari kalangan muslim yang lalu menentangnya. Sementara itu, kelompok yang mengapresiasi demokrasi tidak terlepas dari proses kreativitas berpikir yang dilakukan secara terbuka tanpa prasangka terhadap nilai-nilai dari luar Islam.
Identitas di Dalam Keberagaman
Karena sudah menjadi konsekuensi dari hadirnya alam demokrasi itu sendiri, maka tak dapat dipungkiri ia menghadirkan berbagai ragam golongan, baik itu sekedar hanya untuk hidup, hingga untuk berkuasa. Identitas golongan hingga ideologi tidak bisa dinihilkan begitu saja, karena ia merupakan bagian terpenting dari hidupnya demokrasi.
Namun jika identitas politik itu sendiri ditampilkan secara berlebihan untuk menjatuhkan rival politik, maka ia akan menimbulkan masalah perpecahan yang sangat tidak baik. Terkadang sikap berlebihan ini pula dibarengi dengan klaim monopoli terhadap agama hingga kebenaran. Dengan adanya fenomena seperti ini, perlu pula public mengetahui bahwa kegiatan politik tidak sepenuhnya bersifat sakral, karena tidak terlepas dari subjektivitas manusia itu sendiri.
Pada dasarnya adanya spirit keberagaman dalam demokrasi seharusnya untuk meminimalisir politik identitas yang berlebihan, karena dalam alam demokrasi tidak selamanya harus ada sikap klaim monopolitik terhadap sesuatu. Alam demokrasi merupakan alam pluralisme, yakni alam yang mengakui akan adanya keberagaman. Dan tidak luput pula, jauh-jauh hari Al-Quran dalam Surat Al-Hujarat: 13 sudah mengakui hal ini.
Karena proses sejarah, prinsip keberagaman yang paling dasar dalam QS Al-Hujurat: 13 ini terkadang luput dari pola dialektika umat islam. Seolah menganggap bahwa perbedaan itu bencana, maka yang hadir adalah pembengarusan keberagaman. Karena memonopoli wajah Islam, maka tak dinanya lagi banyak sikap dan pandangan umum di kalangan masyarakat barat terutama jikalau wajah Islam itu keras dan intoleran.
Islam Indonesia semenjak dahulu sudah mengajarkan keberagaman. Ini terlihat dari pelbagai ragam madzhab teologi, fiqh, hingga tashawuf yang dianut oleh umat Islam Indonesia. Nilai demokrasi dalam kehidupan umat Islam Indonesia sudah menjadi tradisi dari leluhur terdahulu. Ia merupakan warisan yang sangat luhur dan berharga, jadi sudah sepatutnya warisan ini untuk dijaga dan dilestarikan. []
0 komentar:
Posting Komentar