Sumber gambar : dakwatuna.com
Baru kali inilah mungkin saya melihat bagaimana seorang mantan ketua umum dari partai yang saat ini berkuasa harus termakan oleh kata-katanya sendiri. Bagaimana tidak, kita masih teringat bagaimana lantangnya Anas Urbaningrum yang siap digantung di monas jika diketahui telah korupsi.
Dan betapa beraninya mantan aktivis ini ketika harus menantang duel dengan para petinggi Partai Demokrat yang dahulunya pernah menjadi partner dan sahabat politik dan telah membantunya maju menjadi ketua umum partai yang berlambang bintang bersinar tiga arah ini.
Lain Anas Urbaningrum, Luthfi Hasan Ishak sebagai presiden PKS juga merupakan seorang yang dianggap memahami agama Islam, yang dahulunya ketika merekrut massa tak pernah lepas lidahnya menyebutkan dalil-dalil Al-Qur’an sebagai alat untuk mencari simpati, Ahmad Fathanah yang juga salah satu kader partai agama dengan asas Islam inipun tak ketinggalan menggunakan ayat-ayat suci sebagai kedok untuk mencari massa. Serta sederet pejabat di tanah air yang begitu lantangnya berbicara tentang korupsi ternyata juga harus hanyut dalam lingkaran setan, korupsi yang telah menjeratnya. Tidak hanya pelakunya sebagai pribadi, agamapun dikorbankan.
Walaupun agama musti dilepaskan dari politik, nyatanya juga menjadi korban dan menikmati imbasnya tatkala kader-kader partai Islam ini telah bermain curang dan bermain wanita. Miris bukan?
Tapi itulah partai dan siapapun yang mau terlibat dalam dunia politik harus siap menjadi kawan dan tentu saja musti siap juga ketika harus menjadi lawannya. Seperti kerasnya persaingan perebutan kepemimpinan di tingkat mahasiswa yang harus kuat-kuatan massa dan tentu saja mental pun harus benar-benar mumpuni. Demi sebuah kemenangan dan ambisi yang tak pernah pupus meski banyak fulus yang harus dikeluarkan.
Siapapun yang saat ini menjadi tokoh partai tentu saja dahulunya di kala menjadi mahasiswa selalu berteriak-teriak lantang untuk menumpas sebuah kebobrokan moral. Akan tetapi lain dulu lain sekarang, ketika saat ini dihadapkan pada persoalan yang sama ternyata lidahpun tak bisa digerakkan, keluh, kaku bahkan seperti bisu tatkala menghadapi segala macam sangkaan dan tuduhan terkait uang negara dan jabatannya.
Lalu apa hubungannya dengan dicekalnya Anas Urbaningrum terkait komitmen yang pernah dikatakan untuk memberantas korupsi serta komitmennya tatkala masih menjadi mahasiswa dahulu? Jawabannya tidak lain karena dunia politik itu kejam dan siap-siap untuk dikorbankan. Karena siapapun yang terlibat dalam politik akan bersinggungan dengan urusan uang.
Meskipun politik itu siasat, cara atau apapun maknanya, tentu saja terlepas dari latar belakang apapun, karena hakekatnya politik itu penuh dengan siasat dan tentu saja siasat licik. Karena dengan siasat licik inilah meskipun awalnya membawa misi bijak, tatkala duduk dalam jabatan tinggi dan melihat tebalnya uang ternyata semakin melemahkan iman dan tentu saja nurani tergadaikan.
Tidak perlu jauh-jauh berandai-andai jika Anda maupun saya sendiri tatkala terjun di dunia politik pasti tujuannya adalah kekuasaan meskipun ketika melakukan kampanye menggunakan ayat-ayat Tuhan dan tentu saja Tuhan menjadi saksi atas kebohongan yang dahulunya diucapkan. Bahkan jika mau mencatat satu persatu ayat yang menjadi tameng rasanya tak cukup waktu untuk membahasnya disebabkan karena semua pembicaraan tak jauh-jauh dengan ayat-ayat suci.
Tapi apakah dengan bermain politik itu harus bermain-main dengan ayat-ayat Tuhan? tentu saja Sang Maha Agung pemilik kitab suci tidak akan rela ketika urusan dunia harus memanfaatkan kesucianNya. Tapi itulah seorang politikus bagaimana caranya mendapatkan simpati orang banyak, mereka selalu menggunakan firman Tuhan sebagai tameng untuk mencari keuntungan sesaat.
Lepaskan Politik dan Agama
Kembali pada persoalan tidak diperkenankannya agama menjadi alat politik karena agama itu ajaran yang suci dan mengajarkan manusia tentang kesalehan dan keindahan budi, namu siapapun penganut agama tidak dilarang pula berpolitik asalkan tidak menggunakan agama sebagai alat politik. Karena selain perbuatan yang keluar dari nurani yang pasti perbuatan itu amat biadab dan keji.
Kekejian para politikus yang menggunakan agama akan semakin nyata tatkala ketika terjerat kasus korupsi pun masih saja menggunakan ayat-ayat suci sebagai tameng. Alih-alih mengakui bahwa perbuatannya merupakan kejahatan, justru semakin percaya diri memanfaatkan Firman Tuhan ini sebagai pijakan atas kebohongan yang telah dilakukan.
Bagaimana buruknya prilaku para politikus ini, tak hanya umat muslim, umat kristiani dan agama-agama lain ketika mereka berpolitik selalu menggunakan dalil-dalil Tuhan yang dianggap paling manjur dan mujarab untuk mencari kepercayaan para penganut agama. Karena siapapun yang menguasai umat agama tertentu dalam politik mereka selalu dapat mendulang suara yang cukup signifikan.
Tak ayal lagi, lagi-lagi agamapun menjadi alat dan selalu menjadi korban atas kemungkaran para pelaku politik. Dan tentu saja perbuatan ini sangat menyakitkan dan sangat merendahkan.
Lalu bagaimana sejatinya umat Islam berpolitik?
Politik itu perbuatan yang seringkali penuh kekejian dan siasat busuk, meski dengan cara yang diharamkan mereka tetap berusaha memenangkan kompetisi politik. Dan ternyata manjur ketika dalil-dalil agama yang disampaikan ada banyak umat yang terpedaya oleh manisnya rayuan.
Jadikan politik sebagai pola pikir, gaya hidup, dan sumber inspirasi yang substantif atas pergerakan politik, sehingga permainan politikpun dilakukan dengan cara yang fair, jujur dan bertanggung jawab karen selalu disandarkan pada ajaran ayat-ayat suci yang tentu saja membimbing penganut agama ke jalan kebaikan.
Menghadirkan ayat suci sebagai pedoman hidup dan arah kemana sebuah politik itu diarahkan, tidak semata urusan dunia karena segala tingkah laku kepemimpinan pun sejatinya akan menuju pada urusan akhirat.
Tapi, kira-kira siapa sih yang mau melepaskan atribut agama dalam urusan politik? Lah embooooh yo???
Metro, Lampung, 22/11/2013
0 komentar:
Posting Komentar