Bagi saya, ayat “Tidak ada paksaan dalam Islam” adalah wujud pengakuan Islam terhadap hak paling dasar manusia, yaitu keyakinan. Islam menyadari bahwa persoalan keyakinan adalah persoalan privasi. Karenanya, ia (keyakinan) tidak bisa dipaksakan.
Syahdan, sebab turun ayat ini berkaitan dengan seorang ayah yang muslim, namun memiliki anak yang beragama beda. Ayah itu meminta pendapat Nabi Saww. Dan turun lah ayat di atas sebagai jawaban bahwa keyakinan tidak bisa dipaksakan.
Karena “Tidak ada paksaan dalam Islam” pula, maka Islam tidak pernah menerapkan hukuman berbentuk fisik pada individu-individu yang keluar dari Islam setelah memeluknya. Saya pernah mengulasnya dalam satu artikel, yang mengundang kontroversi, bertajuk “Hati-hati Menukil Satu Hadis”, yang mengomentari pendapat tentang adanya hukuman fisik terhadap orang-orang yang keluar dari Islam.
Prinsip “Tidak ada paksaan dalam Islam” berbanding sejalan dengan konsep Islam sebagai agama yang “Rahmatan Lil A’lamin”. “Rahmat bagi seluruh alam” hanya bisa terjadi jika suatu agama disebarkan secara damai, tanpa ada paksaan bagi setiap individu yang menolaknya.
Dengan pertimbangan di atas, maka saya sangat menyayangkan adanya UU Perkawinan di Indonesia yang melarang pernikahan beda agama. Keengganan pemerintah untuk mengakomodir pernikahan beda agama, secara tidak langsung, akan mengakibatkan seseorang memeluk Islam karena “terpaksa”, yaitu demi mematuhi legalitas hukum pernikahan di Indonesia.
Jonas Rivanno, misalnya, yang menikahi Asmirandah adalah contoh nyata yang terangkat ke permukaan. Pasca menolak tegas telah menjadi muslim, ia akhirnya mengakuinya. Ada apa? Kemungkinan ia menjadi muslim karena “terpaksa”, yaitu demi alasan legalitas perkawinan di Indonesia. Meskipun hatinya tidak berkehendak menjadi seorang muslim.
Andai saya berada di posisi layaknya Jonas, tentu kegamangan akan menghantui. Saya akan berada di persimpangan, antara harus memilih dua hal yang mungkin sangat prinsipil, yakni “cinta” atau “agama”. Wajar bila Jonas bersikap ambigu.
Pertimbangan “Tidak ada paksaan dalam Islam” yang membuat saya menolak larangan pernikahan beda agama di Indonesia. Sedari dahulu, saya selalu memandang sebelah mata terhadap individu yang berpindah agama demi legalitas perkawinan. Saya menghargai orang-orang yang keluar dari agamanya karena faktor-faktor yang berkaitan dengan hal keduniawian. Termasuk di dalamnya, karena soal demi legalitas perkawinan.
Selain itu, alasan pengharaman pernikahan beda agama pun patut ditinjau ulang. Secara tektual, memang ada ayat yang melarang pernikahan antara wanita muslimah dengan pria non muslim. Namun, pelarangan itu berlaku bagi pria-pria musyrik. Secara kontekstual, pria musyrik yang dimaksud ialah pria musyrik dari kalangan arab dahulu. Dan saya telah menuangkannya dalam artikel “Perempuan Muslimah dalam Pernikahan Beda Iman”.
Jadi, sebaiknya larangan pernikahan beda agama di Indonesia ditinjau ulang kembali. Agar tidak ada lagi kasus-kasus kepuraa-puraan beragama hanya karena mendapatkan stempel legal dalam perkawinan di Indonesia.
Gitu aja koq repot!
Salam pentungan.
0 komentar:
Posting Komentar