Ahok dengan gaya bicaranya yang lugas, tegas, spontan tengah menuai kritik. Ucapan dan ungkapan kata-katanya sering membuat telinga orang merah dan bahkan marah. Bahkan Prabowo Subianto pun angkat bicara soal gaya bicara Ahok. Nampaknya Ahok dan Prabowo berada dalam situasi pemahaman yang berbeda terkait eufimisme dan partai politik (baca: pencitraan). Namun, apakah gaya bicara Ahok tersebut memang tidak tepat dan salah? Mari kita telaah dengan senang hati.
Ahok memang pribadi yang spontan. Ahok adalah gambaran lelaki berprinsip yang lugas. Sikap dan ucapan Ahok itu mewakili kalangan muda yang progresif dan jujur. Tak ada ungkapan yang ditutup-tutupi. Kejahatan adalah kejahatan. Kebaikan adalah kebaikan. Sikap berbahasa yang sangat sederhana. Ahok menempatkan kata-kata sebagai kata. Kata dianggap harus merepresentasi makna dan pendekatan kepada gambaran tentang sesuatu keadaan, benda, peristiwa, suasana dan perasaan.
Ahok memahami kekuatan kata sebagai kata itu sendiri: kata melekat pada esensi makna. Itulah alasan Ahok selalu menggunakan kata-kata yang menghentak. Ahok mampu memerbudak kata sebagai alat untuk memaknai suatu peristiwa dan tujuan dari suatu ‘bangunan makna berdasarkan pilihan kata’. Tujuan ini ternyata mampu diserap public dengan baik. Artinya, Ahok menyampaikan pesan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
Sementara Prabowo adalah pribadi yang dibangun dengan gaya yang sebernarnya sama dengan Ahok. Bedanya adalah kini Prabowo - dengan tujuan menjadi seorang Presiden dengan partai guremnya - tengah melakukan upaya mengeruk dukungan agar niatnya menjadi presiden terpenuhi. Maka gaya bahasa lugas, spontan, dan benar berubah menjadi bahasa pencitraan.
Gaya bahasa Prabowo memang beda dengan Ahok. Prabowo lebih mewakili diri sebagai ‘pencitra’. Prabowo menggunakan kata-kata sebagai bungkus sesungguhnya bagi niatan untuk menggambarkan peristiwa, suasana, benda, dan perasaan. Namun muaranya jelas ke arah pencitraan dan politis. Prabowo masih memiliki kepentingan: ingin menjadi presiden. Sementara Ahok telah berkuasa. Bahasa orang berkuasa berbeda - Ahok lebih merasa bebas karena sudah berkuasa dan bisa berbicara tanpa mengalami masalah besar yang menghimpit bernama: pencitraan!
Bahasa Prabowo adalah bahasa para politikus yang plastis - baik bahasa dan kata-kata yang halus maupun yang kasar. Bahasa para politikus adalah bahasa normatif - yang semuanya terdengar baik, indah dan menawan. Publik tentunya paham bagaimana bahasa politis Akil Mochtar - yang dengan gagah gempita berani dipotong jarinya jika korupsi. Juga bagaimana gaya bahasa halus seorang Zulkarnain Djabar si koruptor Al Qur’an, juga kehalusan bahasa Anas Urbaningrum.
Di partai lain, publik pasti tak lupa bahasa sempurna ustadz Luthfi Hasan Ishaaq yang ternyata seorang calon koruptor pertama yang akan kemungkinan dihukum 20 tahun penjara, Ahmad Fathanah akan ditambah hukumannya karena KPK naik banding - pemberatannya adalah bahasa seorang yang mengaku representasi partai agama PKS yang melukai umat.
Nah, semua partai politik dan pelakunya paham akan kekuatan kata-kata. PKS alias Partai Keadilan Sejahtera memiliki kesadaran tinggi sehingga di tengah terpuruknya partai agama PKS sebagai partai korup, maka partai itu mengeluarkan tagline: kerja, cinta, harmoni untuk tujuan meninabobokkan publik dan tentu para kader taklid butanya yang sangat fanatik, dengan kata-kata indah.
Kesadaran pencitraan seperti ini juga memenuhi seluruh politikus- termasuk tentu Prabowo: kata-kata kehilangan esensi makna sesungguhnya dalam pencitraan - kemunafikan. Ahok jauh dari eufinisme dan pencitraan. Bagi Ahok kata-kata adalah representasi dan kekuatan diri kata itu sendiri yang dimanfaatkan untuk mengubah perilaku masyarakat yang dipimpinnya yang dinilai tak sesuai dengan keumuman dan kemasylahatan masyarakat.
Salam bahagia ala saya.

0 komentar:
Posting Komentar