harga genset honda

Asmirandah, PKS dan FPI: Ketika Agama Menjadi Alat dan Tujuan


Ribut soal Asmirandah terkait pernikahannya yang berbeda agama menarik dikaji lebih dalam dari sisi psikologi massa. Perbuatan Asmirandan dan Vanno merupakan cerminan individu dalam diri partai seperti PKS dan FPI misalnya. Pernyataan Asmirandah mencerminkan kondisi psikologi masyarakat secara umum terkait kondisi sosio-religi dan sosio-politik masyarakat Indonesia. Bagaimana memahami kegelisahan Asmir dan Vanno di tengah masyarakat yang telah tertransformasi? Mari kita telaah.


Asmirandah dan Jonas Rivanno adalah gambaran masyarakat Indonesia terkait agama dan penganut agama. Pun Asmir dan Vanno adalah representasi konflik sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia. Tampak sebagian sikap dan perbuatan Asmir dan Vanno adalah gambaran nyata perilaku politik dan para parpol: pencitraan dengan agama sebagai alat dan tujuan.


Pernyataan Asmir yang menyatakan telah menjadi mualaf, namun pada saat bersamaan, Vanno tak menyatakan telah menikah, bahkan menyebut tak pernah menjadi mu’alaf. Pernyataan tersebut jelas melanggar UU Perkawinan Tahun 1974 - undang-undang yang dibuat pada abad ke-20 yang tak memenuhi kebutuhan pluralisme Indonesia.


Upaya Asmir untuk menarik Jonas menjadi mu’alaf adalah upaya menyesuaikan diri agar bisa menikah dengan Jonas - demi memenuhi tuntutan UU yang sudah kuno itu. Asmir dan Vanno hanya ingin memenuhi keinginan masyarakat mayoritas yang hanya menghendaki perkawinan satu agama: pasangan yang beda agama salah satunya harus meninggalkan agama dan kepercayaan agar bisa menikah. Nah, di sini agama menjadi alat untuk memenuhi hasyrat cinta. Tak salahlah Asmir berupaya memenuhi tuntutan agar damai menyelimuti dirinya. Namun yang menjadi masalah adalah ketika secara tak terduga Jonas mengungkapkan ‘keyakinan sesungguhnya’ bahwa dia belumlah menjadi mu’alaf.


Publik jelas terperangah dan merasa bahwa yang dilakukan oleh Jonas dan Asmirandah adalah tindakan ‘hanya memanfaatkan agama’ sebagai legitimasi pernikahan - yang hatinya tak tahu. Seharusnya Asmir dan Jonas tak perlu mengungkapkan apa sesungguhnya yang terjadi dalam hati: tak usah diungkapkan karena urusan pribadi.


Asmir seharusnya bersikap seperti para penganut dan kader partai agama PKS, yakni diam dengan tujuannya dalam beragama. Dengan segala keyakinan dan kepercayaannya PKS dan juga FPI dengan sempurna memerankan diri mereka sebagai institusi, sebagai organisasi, yang mewakili keyakinan kuat tentang sesuatu: kekuasaan. Asmir tak perlu mengungkapkan esensi dan tujuan pernikahan - sama halnya dengan tersembunyinya tujuan partai agama PKS dan FPI dengan seluruh sepak terjangnya.


Partai agama PKS menjelma menjadi parpol yang mengedepankan kemasylahatan umat dengan tindakan nyata meramaikan Bumi Allah dengan banyak anak-anak. Contoh ustadz Luthfi Hasan Ishaaq diam-diam menikah dengan 3 orang dengan jumlah anak 13 orang - ini diketahui setelah bekas Presiden partai agama PKS itu dicokok KPK. Nah, tujuan baik Luthfi dengan meramaikan Bumi dengan anak-anak adalah tujuan mulia.


Demikian pula Asmir harusnya mencontoh FPI - yang menjadi garda depan pengawal moral bangsa Indonesia. FPI tak menjelaskan tindakan apapun yang dinilai keras, tegas dan kasar. Contoh kasus Munarman yang menyiram air ke muka Pak Thamrin tak dibela dengan kata lain selain pembelaan normative - yang intinya tak disampaikan intense hati.


FPI dalam segala perbuatan dan kelakuannya ternyata mampu mengendalikan diri dari mengungkapkan tujuan dari perbuatannya. Meskipun FPI berbuat kasar, merusak tempat hiburan dan lain-lain secara semena-mena, namun karena dibungkus dengan agama, dengan keyakinan agama, maka masyarakat Indonesia tunduk dan patuh kepada FPI - bahkan negara pun tunduk dan bertekuk lutut di depan FPI.


Nah, seharusnya Jonas dan Asmir tak perlu secara terbuka menyampaikan niat dan kenyataan di dalam hati. Tak perlu menyampaikan isi hati dan tujuan dari perbuatan menjadi mu’alaf. Tak perlu ribut mengeluarkan pernyataan tentang ‘kegunaan agama dan keyakinan’. Asmir lupa bahwa Indonesia bukanlah negara pluralis dan bukan negara yang menghargai perbedaan dalam hal pernikahan antar agama.


Indonesia pun kini tengah berada di dalam zona satunisasi keyakinan agama yang sangat sensitif. Maka ketika Asmir dan Jonas mengungkapkan isi hati yang susungguhnya - itu jelas melukai dan melanggar arah Zona Satunizasi agama di Indonesia. Dan … agama dijadikan alat. Alat bagi kekuasaan dan alat mencapai tujuan seperti yang dilakukan oleh kader partai agama PKS dan FPI. Asmir dan Jonas seharusnya tidak menyampaikan ‘maksud’ menjadi mualaf - seperti yang dilakukan oleh partai agama PKS dan FPI yang tujuan mereka berpartai dan berorganisasi adalah menjadikan agama sebagai tujuan: dan jika menjadi alat pun untuk tujuan organisasi mereka.


Jadi tindakan Jonas dan Asmir adalah gambaran (1) UU Perkawinan 1974 yang sudah kuno dan perlu direvisi, (2) kegalauan tingkat dewa antara tuntutan masyarakat dan keyakinan Jonas, (3) upaya mencari jalan Asmir dan Jonas untuk memenuhi ‘norma’ masyarakat, (4) Asmir dan Jonas merupakan gambaran partai politik seperti partai agama PKS dan FPI yang selalu memiliki tujuan dibalik suatu perbuatan - yang hanya mereka yang tahu tujuan mereka masing-masing.


Salam bahagia ala saya.




sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/11/17/asmirandah-pks-dan-fpi-ketika-agama-menjadi-alat-dan-tujuan--611495.html

Asmirandah, PKS dan FPI: Ketika Agama Menjadi Alat dan Tujuan | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar