Di sebuah restoran Jawa di luar negeri, terdapat kain batik sebagai hiasan dinding. Gamelan dipajang. Lesung. Roda cikar. Sebagian dindingnya dari gedek. Atau anyaman bambu. Macapat an pathet mayuro mengalun lirih dan menyentuh. Dengan gamelan yang sangat rancak.
Tempat minumnya dari kendi, makan nya pakai cowek dan alas daun pisang. Para pengunjung cuci tangan dari sebuah jun dan jambangan tanah liat. Bangunan yang dipakai restoran itu bermotif joglo. Para pelayan berpakaian beskap lengkap dengan hiasan keris. Yang wanita berpakaian kebaya.
Para pengunjung menikmati gudeg jogja. Sego pecel ponorogo. Soto. Bakso Solo dan berbagai minuman khas Jowo seperti wedang jahe, cemuwe, kopi tubruk ginasthel dengan penyajian yang sangat njowoni. Benar benar terasa. Serasa pulang ke tanah air.
Sahabatku yang dimuliakan Allah. Untuk apa sih orang orang datang ke restoran Jawa itu? Mereka pengin makan. Apa substansi utama makan ke restoran? Ya makan. Kenyang. Selesai. Kenapa harus ke restoran jawa? Karena ingin menikmati makanan jawa. Kalau cuma akan makan, kenapa harus memakai suasana yang aneh aneh. Padahal warung itu di Eropa. Kenapa harus menyediakan jun, gedek, dan segala ubarampe yang nggak akan dimakan. Kenapa kok bukan makanan nya saja yang dibuat josh, dan aksesorisnya tetap mengikuti budaya lokal? Kenapa tidak dibungkus plastik ala eropa saja yang higienis cepat dan murah. Karena orang tidak hanya makan. Tapi juga ingin menikmati suasana Jawa. Memang “suasana” itu tidak katut kemakan. Tapi dengan berada dalam suasana Jawa, kenikmatannya tidak bisa digambarkan oleh chef dunia sekalipun.
Ini adalah suatu hal yang wajar dan manusiawi. Suasana ada, makanan jawa juga harus ada. Bagaimana mungkin makanannya nggak ada. Segala jenis susasana Jawa tadi hanyalah pendukung saja. Tanpa makanan menu Jawa, nothing.
Demikian juga ketika restoran Jepang di Surabaya. Pasti nuansa kejepangannya tampak.
Demikian juga pada saat saya mengikuti karate. Saya mesti pake seragam putih khas karateka. Padahal dengan pakai celana pendek saja saya tetap bisa berlatih karate.
Agama islam datang dari tanah Arab. Kurma, unta, jubah, surban, gamis, dan sebagainya merupakan hal yang berasal dari sana. Kecuali jilbab yang memang wajib (tidak ada khilafiyah tentang ini), maka segala aksesoris itu sebagai hal yang biasa mengikuti perjalanan agama islam ke seluruh dunia. Sehingga jika ada orang yang memakai aksesoris Arab, tidak ada celanya sama sekali.
Bagaimana jika dia hanya sebagai kedok, bukankah Abu Jahal itu juga bersorban? Kalau itu, ceritanya mirip dengan restoran Jawa yang ternyata tidak ada makanannya. Apa artinya suasana Jawa tanpa makanan Jawa? Jadi jangan bertanya yang tidak bermutu, bagaimana seandainya Restoran bernuansa Jawa tapi nggak ada makanannya? Ya nggak mungkin lah. Jadi jangan mudah menghakimi.
Aku ingin membumikan islam. Aku ingin tidak menonjolkan simbul-simbul. Saya ingin tetap sebagai wong Jowo yang berislam kuat akidah mantap. Islam bukan aksesoris. Islam bukan Arab. Aku tetap akan dengan pakaianku. Monggo. Tidak ada masalah. Tidak ada dosa. Anggaplah anda makan pecel di Eropa dengan suasana dan kondisi Eropa. Atau makan pecel dimakan pakai sumpit Jepang. Tidak ada masalah.
Daripada seperti si itu, aksesoris saja tapi akidah nggak jelas. Jangan asal nuduh. Tidak baik.
Demikian juga anda yang berislam dengan beraksesoris Arab, dilarang dengan sangat keras menghakimi orang yang ingin budaya lokal. Karena bagaikan makan, sebenarnya substansi yang terpenting itu ya makannya itu sendiri.
Seberapa pentingkah suasana bagi anda?
Kembali kepada diri masing masing.
0 komentar:
Posting Komentar