Hari ini saya sengaja menghabiskan banyak waktu untuk membaca sejumlah tulisan di Kompasiana berikut komentar-komentarnya. Hal yang menarik perhatian saya adalah beberapa tulisan mengenai Ahok, khususnya kata “bajingan” yang digunakannya untuk perilaku kriminal anak-anak SMU yang memang sudah kelewatan. Saya setuju dengan artikel Pak Daniel bahwa itu bukan lagi tergolong kenakalan remaja. Itu sudah kriminalitas dan harus ditindak secara hukum (baca di sini ).
Tetapi bukan itu fokus tulisan ini. Fokus saya adalah sejumlah komentar mengenai penggunaan kata “bajingan” oleh Ahok yang menurut para komentator tersebut merupakan cara berujar yang tidak pantas dari seorang pemimpin. Ada yang menilainya “mulut serampangan”; ada yang menilainya menggunakan kata yang “jorok”; ada pula yang menganggapnya berkata “kasar”. Singkatnya, kata “bajingan” itu seakan haram, entah apa pun alasan penggunaannya.
Saya menggunakan “sekali lagi” pada judul di atas, karena saya sudah pernah menulis mengenai hal ini kemarin dari perspektif yang lain (baca di sini ).
Paradigma atau Subjektivitas?
Pada level paradigmatis, penilaian-penilaian di atas mau tidak mau harus dianggap mengekspresikan pandangan bahwa penggunaan kata negatif itu sama sekali tidak boleh. Normanya adalah kata negatif itu negatif maka tidak ada aspek positif dari penggunaannya.
Bila penilaian-penilaian di atas mengekspresikan paradigma ini, saya percaya mereka harus berkaca terlebih dahulu. Silakan perhatikan isi penilaian di atas. Apakah mereka sendiri tidak menggunakan ungkapan negatif bagi Ahok? Jawabannya jelas ya! Jika ya, maka apakah ini bukan standar ganda? Jawabannya lagi-lagi ya. Maka, maaf, komentar-komentar tersebut tidak layak didengar karena merupakan sesat pikir.
Meski begitu, ada sisi lain yang bisa ditilik. Mungkin mereka menilai demikian karena Ahok tidak berujar seperti yang mereka ingin dengar dari Ahok. Kata lain dari aspek ini adalah selera berujar atau selera berbahasa. Subjektivitas adalah kata kuncinya.
Jika selera di atas menjadi acuan, maka sayang sekali itu pun bukan sesuatu yang normatif untuk diungkapkan secara publik. Siapa yang mengharuskan siapa taat kepada selera pribadi setiap orang? Kalau Anda penikmat jus tomat, dan saya penikmat cocacola, mengapa Anda menilai selera saya buruk hanya karena saya tidak satu selera dengan Anda?
Tidak Bernilaikah? Cermati Konteksnya!
Pertanyaan intinya adalah apakah penggunaan ujaran negatif tidak bernilai? Tidak bernorma? Tidak etis? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan substansial karena pada akhirnya kita harus menalar setiap ujaran itu pada level ini.
Saya kira, nilai sebuah ujaran tetap harus ditakar berdasarkan konteks penggunaannya. Mis. bila seorang dokter menggunakan kata “vagina” atau “penis” guna menjelaskan tentang aspek-aspek genetikal dan atau masalah libido manusia, apakah waras untuk melabelinya sebagai kata-kata yang jorok? Bila seseorang disebut sebagai “orang gila” karena memang ia terganggu kejiwaannya, apakah ini patut didemo semata-mata karena ada ungkapan negatif? Bila anak-anak SMU itu dengan sedemikian beraninya membawa senjata tajam, membajak bis kota, dan bahkan mencelakai orang lain dalam aksi tersebut, apakah mereka bukan bajingan? Ahok bahkan menggunakan kata keterangan yang lebih lembut “calon bajingan”. Bagi saya, mereka bukan calon bajingan. Mereka memang bajingan.
Mari kita pertimbangkan sebuah argumen semantik dari sisi lain. Bila seseorang datang ke rumah Anda pada saat rumah Anda sedang berantakan dan tidak rapi, lalu ia berkomentar: “Wah, rumahnya rapi sekali ya. Menyenangkan tinggal dalam rumah dengan kerapian seperti ini”. Menurut Anda, kata-kata “rapi sekali” dan “menyenangkan sekali” di sini itu negatif atau positif? Saya tidak perlu menggurui Anda untuk menjawabnya. Anda pasti tahu betul bahwa itu bukan pujian, tapi ejekan.
Sebenarnya hal semacam ini dulu sudah pernah heboh juga dibahas di Kompasiana yaitu penggunaan kata “bodoh” oleh ibu Ani Yudhoyono tatkala seorang komentator menyamperinya dengan komentar bodoh. Dan saya sudah membahas mengenai hal itu di sini dan di sini .
Konteks menentukan pemaknaan. Sebab “teks tanpa konteks hanyalah sebuah pretensi untuk membenarkan apa pun yang ingin Anda benarkan“.
Kata negatif itu sah digunakan dan tidak perlu diributkan apalagi meresposinya dengan menggunakan ungkapan negatif lainnya. Anda hanya mempertontonkan diri Anda sebagai salah satu pengguna kata negatif lainnya.
Sampai di sini, saya belum menjawab nilai penggunaan kata negatif. Saya kira, nilai penting (Anda bisa menambahkan nilai lainnya) dari penggunaan kata negatif adalah kejujuran. Menggunakan ungkapan negatif ketika ada indikator-indikator kuat yang mendasarinya, merupakan ekspresi yang jujur untuk berkata apa adanya sesuai fakta. Bila saya mencuri dan Anda tidak menyebut saya pencuri, maka Anda adalah seorang penghibur yang baik tetapi Anda bukanlah orang yang jujur!
Akh..berhentilah menjadi orang yang kelewat sopan, padahal Anda sendiri berujar tidak “sopan” menurut standar kesopanan Anda!
Selamat pagi Indonesia; Salam Kompasian!
0 komentar:
Posting Komentar