Menjelang Pemilihan Calon Legislatif 2014 mendatang, akhir-akhir ini banyak media, baik lokal maupun nasional, marak memberitakan perilaku yang berkaitan dengan klenik, kekuatan supranatural dan sebagainya, dan sebagainya, dari para caleg yang bersiap memperebutkan “posisi” di lembaga negara terhormat. Di Kompasiana, pernah ada tulisan tentang dukun politik ini, antara lain dari Bu Ira Oemar dan Dewa Gilang. Sementara itu, di salah satu harian lokal ternama di Kota Yogyakarta, ada sebuah liputan satu halaman penuh, tentang para caleg yang melakukan ziarah politik. Nah…setali tiga uang dengan kunjungan ke dukun politik, perilaku para caleg ini dengan berziarah ke tempat-tempat yang dianggap memiliki nilai magis ini adalah dalam rangka mencari kesuksesan, agar lolos menjadi caleg.
Mencari pemimpin, wakil rakyat dan sebagainya, sejatinya adalah persoalan mencari pemimpin yang kredibel, tegas, rasional, penuh komitmen, bisa dipercaya dan sekian persyaratan lainnya. Lucunya, kunjungan para caleg ke dukun politik atau berziarah ke tempat keramat ini, sebenarnya justru menunjukkan kenyataan, bahwa diri mereka sebenarnya bukan tipe orang yang amanah. Bagaimana bisa disebut amanah, kalau ternyata, untuk kredibilitas saja, mereka mempercayakan kepada “mediator” (yaitu dukun atau tempat keramat tersebut)…? Ini nampaknya gambaran dari rasa “tidak percaya diri” secara personal. Kenapa ketika harus berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk memohon agar lolos menjadi anggota legislatif, yang mestinya bisa dilakukan secara “direct“, justru dipercayakan melalui “mediator” tadi…?
Dalam tulisannya Dewa Gilang, menyebutkan : “Dengan kultur mistis layaknya demikian, dan ditambah dengan tekanan batin para Caleg dalam menyongsong Pemilu, maka tidak heran jika hal-hal irasional lebih dikedepankan ketimbang hal-hal yang rasional atau lebih masuk akal.”
Rupanya, gambaran manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis (demikian juga dengan mentalitas manusia Indonesia menurut Koentjoroningrat) masih relevan. Disebutkan, bahwa manusia Indonesia masih mempercayai takhyul, klenik dsb dsb. Latar belakang ‘agama’ asli manusia Indonesia yang animis dan spiritis -termasuk di dalamnya totemnisme dan dinamisme- yang sudah berakar, menjadikan apa pun agama manusia Indonesia, ia tetap mempertahankan hal-hal yang supra natural dari ‘agama’ asli tersebut….
Padahal, buku ini berdasar riset tahun70an…nah…artinya, selama itu pula…sebenarnya kita “tidak beranjak” kemana-mana…??
Dengan demikian, sudah saatnya menjadi pemilih yang cerdas dan rasional. Pada akhirnya, jangan sampai diri kita, sebagai rakyat yang dibodohi dan kemudian ujung-ujungnya dirugikan…
0 komentar:
Posting Komentar